Sunday, September 02, 2007

UJUNG GENTENG, paradise on the edge of Java Island





Sewaktu saya dan teman-teman merencanakan untuk traveling ke Ujung Genteng, saya belum tahu banyak tentang tempat itu. Lalu kami browsing untuk mencari tahu apa saja objek wisata yang menarik di Ujung Genteng. Saya dan teman-teman sempat terpana melihat keindahan pantai dan curug yang kami lihat di foto di internet, lalu kami putuskan untuk positif pergi ke sana.

Tanggal 17 Agustus 2007, pagi-pagi kami berangkat menggunakan kendaraan minibus yang disediakan oleh paket wisata. Karena kepergian kami bertepatan dengan perayaan hari kemerdekaan, kami sempat terjebak macet di beberapa tempat. Perjalanan terasa sangat panjang. Kami melewati jalanan gunung yang berliku-liku dan ada beberapa bagian jalan yang rusak. Namun kami tetap menikmati perjalanan ini karena di sisi kanan-kiri kami terhampar pemandangan yang indah. Kami melewati hamparan kebun karet, pepohonan kering meranggas, kebun teh yang bertingkat-tingkat, dan juga sempat melihat Pelabuhan Ratu dari kejauhan, dengan laut dan ombak berdebur yang sangat indah.

Perjalanan Jakarta – Ujung Genteng memakan waktu sekitar enam jam. Kami tiba sekitar pukul dua siang di Curug Cikaso. Sebelum ke penginapan, jadwal kami adalah berwisata ke Curug Cikaso yang terkenal. Untuk sampai ke Curug Cikaso, kami harus naik perahu motor milik warga dan menyusuri sungai yang airnya berwarna kehijauan. Setibanya di lokasi, kami turun dari perahu lalu melewati jalan setapak diantara hutan yang kurang terawat. Namun dibalik hutan tersebut ternyata kami menemukan keindahan yang luar biasa, yaitu Curug Cikaso yang tinggi menjulang di hadapan kami, dengan lumut hijau yang menghiasi tebingnya. Ternyata foto-foto yang kami lihat di internet tidak berbohong. Curug ini memang indah, tapi sayang, karena saat itu musim kemarau, airnya sedang kering.

Dari Curug Cikaso, kami melanjutkan perjalanan menuju penginapan yang terletak berhadapan dengan pantai karang. Setelah berbenah sebentar, kami menyusuri pantai karang di depan penginapan untuk menunggu sunset. Di pantai karang ini, saya bisa menemukan bermacam jenis binatang laut yang unik dan berwarna-warni. Bisa saja binatang itu tiba-tiba muncul di kaki saya karena memang karang-karang yang kami lewati ternyata merupakan tempat persembunyian binatang-binatang itu. Ombak yang berdebur di pantai karang membuat kami enggan beranjak dari situ.

Warna langit yang mulai berubah menjadi jingga menandakan matahari akan mulai terbenam. Saya menyiapkan kembali kamera digital saya, tak mau melewatkan keindahan sunset di pantai itu. Matahari pun mulai turun, cahaya jingganya memantul di permukaan air laut. Orang-orang yang berdiri di pinggir pantai hanya tampak seperti siluet. Saya senang sekali karena berhasil mengabadikan momen seperti ini.

Malam harinya, setelah menikmati makan malam yang lezat, kami ke pantai pengumbahan, yaitu pantai tempat penyu bertelur. Jalan menuju pantai pengumbahan hanya bisa dilalui dengan motor, maka kami menyewa ojek untuk sampai ke tempat itu. Perjalanan kami di malam itu menjadi sebuah petualangan baru bagi saya. Karena jalan yang kami lewati berpasir dan berbatu-batu, saya seperti sedang ikut reli motor. Kanan-kiri saya gelap gulita, hanya ada cahaya yang berasal dari lampu motor. Sekilas saya bisa melihat pantai dalam kegelapan, hanya tampak buih-buih ombaknya yang berwarna putih.

Kami pun sampai di pantai pengumbahan. Disini kami membutuhkan senter untuk berjalan dari tempat penangkaran menuju pantai. Tapi setibanya di pantai, kami tidak boleh menyalakan sedikitpun cahaya, karena penyu yang akan bertelur, akan langsung kembali ke laut jika melihat ada cahaya. Penyu membutuhkan tempat yang gelap pulita untuk bertelur, bahkan langit yang terlalu terang pun akan mengganggu mereka.

Untuk bisa melihat penyu bertelur, kami harus bersabar menunggu sampai penyu muncul dari laut dan berjalan ke pantai untuk mencari tempat bertelur. Kami duduk di pinggir pantai, sambil memandang langit yang penuh bintang dan bulan sabit yang lama-kelamaan menghilang dari pandangan. Ombak yang berdebur menghantam pantai menimbulkan bunyi yang sangat keras, membuat saya jadi agak merinding. Mungkin karena gelap, saya jadi berpikir macam-macam. Tapi setelah dua jam menunggu dan tak ada satupun penyu yang muncul, kami memutuskan untuk pulang ke penginapan.

Pagi harinya, kami akan melihat matahari terbit di pantai cagar alam. Saya hampir saja tidak ikut karena kecapekan. Tapi setelah dipikir lagi, selama ini saya belum pernah melihat matahari terbit, saya juga jarang sekali berolah raga, jadi akhirnya saya putuskan untuk ikut. Untuk tiba di sana kamipun naik mobil. Kami melewati tempat pelelangan ikan yang bau amis. Tapi saya merasa sangat takjub ketika tiba di pantai yang dimaksud. Pantainya berbeda dengan pantai karang di depan penginapan. Pantai cagar alam adalah pantai landai berpasir, dengan ombak yang sangat dekat dengan kami. Langit berwarna biru kemerahan, namun matahari belum muncul dari balik awan. Selain rombongan kami, saya melihat banyak pengunjung lain yang sedang sibuk memasang kamera mereka yang dilengkapi tripod. Sepertinya mereka dari klub fotografi. No wonder mengapa mereka memilih tempat ini sebagai lokasi.

Matahari pun mulai muncul dengan warna kuningnya yang menyilaukan. Semua sibuk mengabadikan momen ini. Saya pun berhasil mengambil gambar yang indah, ketika matahari sudah benar-benar berbentuk bulatan kuning, dengan deburan ombak menyambutnya.

Kami merasa enggan sekali untuk beranjak dari pantai, tapi tur harus dilanjutkan menuju hutan cagar alam. Lokasinya tidak jauh dari pantai tempat kami melihat sunrise. Di hutan itu terdapat sebuah bangunan milik TNI AU, sebagai menara pengawas perairan tanah air kita agar tidak dimasuki oleh kapal-kapal asing. Disini kami banyak menemukan pohon tanpa daun, kering hanya tinggal dahannya saja. Kami juga menemukan kembali sebuah pantai karang yang sunyi dan tenang.


Dari hutan cagar alam, kami pun kembali ke penginapan untuk sarapan. Setelah itu kami akan diantar ke Pantai Cipanarikan dengan ojek. Sekitar pukul setengah delapan pagi kami pun berangkat. Perjalanan ke Pantai Cipanarikan sama seperti perjalanan kami ke Pantai Pengumbahan untuk melihat penyu, bedanya, kali ini kami bisa menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Lokasinya sekitar satu kilometer lebih jauh dari tempat penangkaran penyu. Dan ternyata medan yang kami lalui lebih berat dari semalam karena kami benar-benar harus melewati hutan yang penuh dengan semak belukar.

Saya melihat di sebelah kanan saya terbentang sungai yang luas kehijauan, namun saya belum melihat tanda-tanda ada sebuah pantai. Jalanan yang kami lalui mulai berbukit, lalu motor berhenti di pinggir sungai. Tukang ojek saya mengatakan bahwa motor tidak bisa dibawa lebih jauh, kami harus berjalan kaki untuk menaiki bukit pasir di depan kami. Maka saya pun berjalan kaki mendaki bukit sampai akhirnya saya menemukan sebuah pemandangan yang mengejutkan.


Pantai Cipanarikan, atau yang dijuluki pantai hawai, terbentang di depan mata saya. Saya tidak bisa banyak berkata saking takjubnya. Saya belum pernah melihat pantai seindah ini. Lautnya berwarna biru, dengan hamparan pasir putih, berhadapan dengan muara sungai yang kehijauan. Bersih… dan terlebih lagi, tak ada satupun pengunjung selain kami. Kami merasa seolah-olah pantai ini sudah menjadi milik kami, seperti private beach. Melepas kekaguman, saya pun berlari menuruni bukit pasir sambil berteriak, “KEREN BANGEEEEETTTTTT.....!”

Kami sibuk berfoto, bermain air, rasanya seperti tak mau pulang. Pasirnya begitu lembut di kaki kami. Airnya dingin dan sama sekali tidak lengket atau membuat gatal. Saya memandang ke laut dan melihat benar-benar tak ada batas antara kami. Saya sedang berhadapan dengan Samudera Indonesia. Saya merasa seperti sedang bermimpi, ternyata ada pemandangan seindah ini di balik hutan yang tadi kami lewati.

Kalau tukang ojek yang sekaligus adalah pemandu kami tidak memperingatkan kami untuk segera pulang, mungkin akan seharian kami berada disitu. Menjelang tengah hari, barulah kami beranjak pulang.

Sebelum menikmati makan siang di penginapan, kami sempat berjalan-jalan di sekeliling penginapan untuk melihat proses pembuatan gula dari nira/sari kelapa. Kami mencicip sedikit air nira yang terasa sangat menyegarkan. Kemudian kami menikmati kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon di depan penginapan. Setelah bermalas-malasan dibuai angin pantai, barulah kami mandi dan bersiap-siap untuk pulang ke Jakarta.

Sekitar jam satu siang, setelah menyantap makan siang kamipun kembali ke Jakarta. Meskipun terasa berat, kami harus rela meninggalkan tempat yang penuh dengan kejutan ini. Kami pulang dengan membingkai kenangan tentang keindahan Ujung Genteng di benak kami masing-masing. Maybe…, someday we will be back!

JAKARTA-SALATIGA-SOLO

Di akhir bulan Juli kemarin, gue sempet menghabiskan weekend diluar Jakarta. Seneng banget rasanya setelah berbulan-bulan nggak pernah traveling lagi. Sayangnya, kepergian gue kali ini adalah dalam rangka pernikahan sepupu, jadi waktu empat hari yang gue punya nggak bisa gue maksimalkan untuk jalan-jalan. Tapi yang terpenting buat gue adalah keluar dulu dari Jakarta, meninggalkan pekerjaan dan rutinitas untuk sementara waktu.

Ternyata, perjalanan darat selama dua belas jam itu lumayan banget. Gue udah tidur, dengerin mp3, telpon-telponan sama orang kantor, tidur, makan, ngobrol sama saudara gue, ganti posisi duduk, makan, bengong menikmati pemandangan diluar jendela bis, tidur, sms, dengerin mp3, makan, tidur… wow!

Sambil memandang keluar jendela bis gue berpikir-pikir, kapan ya terakhir kali gue melewati jalan-jalan itu? Ujung tol Cikampek, jajaran pedagang peuyeum di sepanjang jalan Purwakarta, pemandangan laut lepas yang begitu dekat di perjalanan antara Indramayu dan Cirebon, kapal-kapal nelayan yang berlabuh di pinggir sungai, patung peringatan perjalanan pasukan Siliwangi, gapura perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, jajaran pedagang telor asin di Brebes, pemandangan hutan jati yang sangat luas di Alas Roban, dan semua pemandangan menarik lainnya yang sudah lama banget nggak pernah gue liat. Ini adalah salah satu dari kenikmatan perjalanan darat. Kalau perjalanan udara dengan pesawat, yang kelihatan cuma langit dan awan, kita nggak bisa melihat keunikan dan kecantikan masing-masing daerah yang dilewati.

Setelah merasakan pegal yang luar biasa gara-gara kelamaan duduk, akhirnya kami mencium bau pegunungan. Hawa yang mulai terasa dingin menandakan bahwa kami sudah memasuki kawasan Salatiga, kota tujuan kami. Hari sudah senja, langit mulai gelap. Rombongan kami mampir di sebuah restoran untuk ngopi-ngopi. Restoran itu menjual kopi khas Salatiga yaitu Kopi Banaran. Dan di bagian belakang restoran itu terhampar perkebunan kopi Banaran. Rasa kopinya sedap, dan katanya, kopi-kopi yang digunakan untuk café-café di Jakarta banyak yang berasal dari situ. Di restoran itu gue bisa menikmati secangkir cappuccino dengan harga yang nggak sampe sepuluh ribu rupiah, plus menikmati enaknya mendoan yang dimakan pakai cabe rawit. Padahal kalau di Jakarta, mana ada café yang menjual cappuccino atau espresso dengan harga semurah itu?

Setelah puas ngopi-ngopi, barulah rombongan kami melanjutkan perjalanan menuju tempat penginapan yang sudah diborong untuk kami. Kami menginap di sebuah wisma yang konon merupakan rumah dosen Universitas Satyawacana. Bangunannya khas rumah-rumah kuno peninggalan jaman Belanda, dengan kamar yang luas dan sejuk sehingga kami tidak lagi membutuhkan AC.

Pagi harinya, gue bersama orang tua gue melanjutkan perjalanan ke Solo, tempat kakak sulung gue tinggal. Kebetulan acara pernikahan sepupu gue di Salatiga akan diadakan malam hari dan keesokan harinya, jadi dari pagi sampai siang hari itu adalah acara bebas. Dari Salatiga, gue naik bis tujuan Semarang yang lewat Solo (mostly sih emang lewat Solo). Ada beberapa armada tujuan Semarang, ada yang ekonomi bak patas di Jakarta – panas, padat – maupun yang lebih nyaman menggunakan AC. Tarifnya 10.000 – 12.000/orang. Tapi jangan dikira bisnya kosong, bis AC pun penumpangnya cukup banyak dan kalau sedang nggak beruntung, bisa nggak dapet tempat duduk.

Gue sampai di Solo setelah melewati jalan yang berliku-liku dan bikin gue rada mabok. Padahal perjalanannya cuma dua jam, sedangkan perjalanan dua belas jam Jakarta - Salatiga gue malah nggak mabok. Tiba di Solo, hawanya beda banget sama di Salatiga. Solo memang terkenal panas karena terletak di dataran rendah, sama seperti Jogja yang selalu panas. Di Solo, gue nggak terlalu banyak jalan-jalan karena waktu yang terbatas. Akhirnya gue menghabiskan waktu di rumah kakak gue yang sudah masuk daerah Karang Anyar.

Kembali ke Salatiga di sore harinya, kami kembali disibukkan dengan persiapan pernikahan sepupu gue. Tapi di malam harinya, seusai acara midodareni (perkenalan keluarga dari kedua mempelai), gue dan kakak gue jalan-jalan menikmati malam. Kami jalan kaki sebentar sampai menemukan pasar malam yang rame banget, dipenuhi muda-mudi Salatiga. Di Jakarta, nggak pernah satu kalipun gue main ke pasar malam. Padahal, sebetulnya pasar malam itu cukup menyenangkan loh untuk dijadikan tempat hiburan.

Kami berkesempatan untuk jalan-jalan lagi pada keesokan harinya, setelah acara resepsi. Bareng sama orang tua gue, kami naik delman ke pasar, nyari oleh-oleh sekalian nyari bakso yang terkenal di situ. Setelah menyusuri pasar dengan jalan kaki, kami menemukan lokasi tempat makan bakso yang katanya enak buanget… namanya Bakso Trikoyo. Konon katanya, Salatiga tuh terkenal dengan baksonya, dan salah satu bakso yang terkenal adalah Bakso Trikoyo. Setelah dicoba… tenyata memang enak. Satu porsi baksonya banyak banget, gurihnya pas, kalau kata Pak Bondan Winarno, “Mak Nyuss!”. Setelah menikmati bakso, barulah kami nyari oleh-oleh. Oleh-oleh khas kota ini adalah enting-enting gepuk, kripik belut, kripik paru, dan kripik usus, semua kami beli. Terus… kami pulang ke hotel dengan kembali naik delman. Tapi kali ini kami sempat nyasar, maklumlah semua orang baru. Nggak papalah, yang penting kami bisa menikmati malam yang unik di Salatiga.

Esok paginya gue balik ke Jakarta, membawa kenangan baru di otak gue. Kenangan tentang kota yang sudah bertahun-tahun nggak gue datangi, Salatiga dan Solo. And I will start my ordinary days in Jakarta with a big smile…

Thursday, June 21, 2007

KEEP ON WRITING

Dua cerpen dibawah, yang judulnya KETIKA SENJA MULAI TURUN dan SEBERKAS KASIH TULUS adalah cerpen-cerpen yang gue buat semasa kuliah, gak lama setelah gue lulus SMA. Kebetulan waktu itu memang jamannya gue masih suka banget nulis. gue seneng banget waktu salah satu dari karya iseng gue di masa itu, DI BAWAH GERIMIS dimuat di majalah ANEKA Yess! meskipun oleh editornya diganti judul menjadi KALA HUJAN TENGAH HARI. gue inget waktu itu masih pake nama samaran Ariesta Palupi. honornya nggak seberapa, klo nggak salah cuma tujuh puluh lima ribu rupiah. bayangin... kalo jaman sekarang uang segitu buat apa ya?

Setelah itu, gue jarang banget nulis. apalagi setelah lulus kuliah dan kerja. boro-boro nulis cerpen atau novel, nulis diary aja nggak pernah! rasanya gue nggak pernah punya waktu cukup atau daya imajinasi yang lumayan untuk menulis. tapi semenjak ditemukannya blog, gue mulai belajar pelan-pelan, menulis lagi. mungkin tentang sesuatu yang ringan dan berasal dari kehidupan gue sehari-hari. sampai akhirnya gue mulai iseng menulis sesuatu dengan serius. dan lahirlah novel perdana gue THE UNFORGIVEN PLAYBOY. gue tahu novel gue itu masih tergolong "teenlit", walaupun gue bukan orang yang suka mengkotak-kotakkan sebuah karya. gue tahu novel gue belom bisa dibilang karya sastra. tapi setidaknya gue bisa memacu diri gue untuk terus berkarya, untuk terus menghasilkan tulisan-tulisan yang lebih baik dan digemari banyak orang. karena nggak semua orang bisa punya kesempatan seperti gue.

Ada seseorang yang pernah bilang, "jangan terobsesi untuk membuat tulisan kita terbit atau menghasilkan uang. menulislah di saat ingin menulis, tanpa beban, mengalir begitu saja". seandainya ada yang berminat dengan tulisan kita itu, anggaplah hal itu sebagai bonus. sedangkan kegiatan menulis itu sendiri adalah suatu bentuk kepuasan batin.

yap, seperti yang sedang gue lakukan saat ini. writing for fun. so... keep on writing guys!

SEBERKAS KASIH TULUS

Lena melangkahkan kedua kakinya dengan mantap menyusuri koridor bangunan panti rehabilitasi itu. Tangannya mendekap sebuah bingkisan cantik berisi buah-buahan segar. Wajahnya bersinar tak kalah terang dengan mentari di sore itu. Ia tak memperdulikan beberapa pasang mata yang menatapnya jeran. Jarang sekali ada seorang gadis cantik, terlebih lagi ceria dan bersemangat, yang berkunjung ke tempat itu.
Langkahnya terhenti tatkala dilihatnya seorang pemuda yang sedang duduk di bangku taman. Itukah Seno? Terakhir kali melihatnya, Seno juga tampak seperti itu. Sudah sebulan Seno dirawat di panti rehabilitasi, memang baru sekarang Lena menjenguknya. Setelah mendengar kabar itu, Lena menaruh harapan besar bahwa keadaan Seno akan jauh lebih baik dibandingkan saat pemuda itu masih ketergantungan obat. Tapi kenyataannya, tak ada perubahan sedikitpun. Sinar di wajah Lena berangsur redup.
Lena masih berdiri kira-kira lima meter dari Seno, menatap pemuda yang kelihatan ringkih itu. Wajah Seno begitu pucat, seolah tak ada setetes pun darah yang mengalir. Kedua matanya menatap annar angkasa luas. Hati Lena terasa ngilu.
Beberapa detik kemudian Lena memutuskan untuk menghampiri Seno.
“Seno?” sapanya. “Masih ingat aku kan?”
Sepasang mata keruh milik Seno menatap gadis itu. Senyum tipis merekah di bibirnya. “Eh, Lena. Ngapain kamu kesini?”
Hati Lena sedikit terhibur mengetahui ternyata Seno masih sadar. Dia khawatir kalau-kalau pikiran Seno saat itu sedang melayang ke dunia lain. Sinar di wajah Lena perlahan muncul kembali. Lalu ia duduk di samping pemuda itu.
“Aku kesini ya nengokin kamu,” ujarnya sambil menyerahkan bingkisan di tangannya ke pangkuan Seno. “Buat kamu. Maaf baru bisa kesini sekarang. Kamu tahu sendiri bagaimana kejamnya dosen-dosen kita kalau ngasih tugas.”
Seno menatap bingkisan yang menurutnya sangat berharga itu. Lebih berharga dibandingkan segala yang pernah ia terima dari orang tuanya.
“Makasih ya? Aku pikir kamu sudah lupa sama aku,” ujarnya. “Bagaimana kampus?”
“Anak-anak titip salam, mereka kangen sama kamu.”
Kembali senyum tipi situ singgah di bibir Seno. Dicobanya untuk mengingat teman-teman kuliahnya satu per satu. Sulit. Sudah hamper tiga bulan ia menelantarkan kuliahnya semenjak mulai bergaul dengan narkoba, hingga harus berakhir dip anti rehabilitasi ini. Tapi ada satu sosok yang tak kan pernah bisa ia lupakan.
“Bagaimana dia?” tanyanya dengan suara lirih.
Lena tercekat. ‘Dia’ yang dimaksud Seno pastilah Dewi. Dewi mantan kekasih Seno, gadis yang menyebabkan Seno seperti ini. Seno sudah menganggap Dewi adalah segalanya, seseorang yang bisa melepaskan dahaganya akan cinta dan kasih saying yang tak pernah ia dapatkan dari orang tuanya. Itulah sebabnya setelah mereka putus, Seno kehilangan pegangan. Ia memilih untuk lari dari kenyataan dan memperoleh mimpi-mimpinya melalui narkoba. Cukup lama ia terbelit dalam lingkaran setan itu, hanya Lena yang tahu. Sebagai seorang sahabat, Lena selalu berusaha menolong. Tapi yang ia dapatkan hanyalah makian dari Seno. Meskipun begitu, Lena pantang menyerah.
Keadaan Seno yang makin lama semakin terpuruk membuat Lena tak sanggup lagi menyimpan rahasia itu. Orang tua Seno, juga Dewi, akhirnya mengetahui keadaan Seno yang sebenarnya. Tapi mereka juga tak bisa berbuat banyak hingga suatu saat Seno ditemukan di atas tempat tidurnya dalam keadaan overd dosis.
“Sudah lama aku nggak ketemu dia, Sen,” jawab Lena getir, tahu bahwa posisi Dewi di hati Seno sudah tak tergoyahkan.
Seno tertunduk. Ia tak menyalahkan Dewi karena meninggalkannya. Dia memang terlalu posesif, bahkan cenderung mengekang kebebasan gadis itu. Tapi ia melakukan semua itu semata-mata karena takut kehilangan Dewi.
Ditepisnya bayangan Dewi dari benaknya mengingat di sisinya kini ada gadis lain yang sudah berbuat terlalu banyak untuknya.
“Orang tuamu nggak keberatan kamu ke sini?”
Lena menggeleng. “Justru mereka yang menyuruhku ke sini. Buah-buahan itu juga titipan dari mereka,” tuturnya.
Betapa beruntungnya gadis ini, batin Seno. Orang tuanya memiliki samudera cinta yang tak berujung, membuat Lena tumbuh menjadi seorang gadis yang berhati mulia.
“Mereka sangat baik ya, Len?” puji Seno. “Asal kamu tahu, selama aku dirawat di sini baru dua kali papa dan mama mengunjungiku, itu pun nggak lama. Mungkin mereka memang ingin membuangku ke tempat yang membosankan ini.”
“Seno!” seru Lena tertahan.
“Itu kenyataan, Len. Aku telah menciptakan aib besar buat keluarga. Menyembunyikanku di sini adalah jalan yang terbaik. Menurutmu apa yang mereka katakana pada orang-orang diluar sana? Mungkin mereka bilang aku sedang belajar di luar negri, seperti abangku itu.”
Lena menggelengkan kepalanya berulang kali. “Kamu salah!” protesnya. “Mereka mengirimmu ke sini cuma supaya kamu cepat sembuh! Mereka sayang kamu! Aku minta kamu jangan selalu berprasangka buruk pada mereka!”
Seno menatap Lena dengan senyum tipisnya. Menurutnya Lena tak tahu banyak tentang bagaimana keluarganya. Lagipula hati gadis itu memang tak pernah mengenal kebencian.
“Sudahlah, aku nggak mau berdebat sama kamu,” ujar Seno mengalah.
Mereka terdiam sejenak, memandang awan putih yangn berarak pelan. Kemudian Lena kembali berbicara, “Berapa lama lagi?”
“Kalau perawatannya lancar, kurasa nggak lama lagi aku keluar,” jelas Seno.
“Jangan betah-betah ya? Diluar sana ada dunia penuh warna yang menantimu,” Lena menyemangati. Lalu teringat padanya satu hal yang mungkin sangat dibutuhkan oleh Seno.
“Sen, kau ingin ketemu Dewi?”
Seno tercekat. “Dewi?”
“Tenang, Sen. Aku akan membawanya ke hadapanmu.”
* * *

Ada sesuatu yang mengganjal batin Dewi ketika ia memenuhi permintaan Lena untuk bertemu di sebuah café petang itu. Selama ini, segala sesuatu yang pernah mereka bicarakan pasti ada kaitannya dengan Seno. Masih ada sisa-sisa cinta di hati Dewi untuk Seno. Itulah yang membuatnya belum bisa seratus persen melupakan Seno.
“Halo, apa kabar, Len?” sapa Dewi sambil duduk di hadapan Lena.
Lena menatap lurus gelas minuman di depannnya. “Nggak perlu basa-basi. Kamu nggak pernah mau tahu kabarku, bahkan kabar Seno,” ujarnya datar.
Mata Dewi membulat. “Hey…, nggak usah sinis begitu dong! Oke, aku tahu kamu pasti mau bicara soal dia. Ada apa lagi dengannya?”
Tatapan Lena beralih dari gelas minuman itu ke wajah Dewi. Ditegakkannya punggung.
“Temuilah dia, Wi. Cuma kamu yang bisa menolongnya.”
Dewi mendesah panjang. Kapan beban itu akan pergi darinya? Ditopangkannya dagu dengan tangan kanan.
“Aku bukannya nggak mau menolong, aku bahkan akan melakukan apapun untuk membantunya. Tapi sampai kapan, Len? Aku ingin dia bangkit, aku ingin dia melupakanku. Aku butuh hidup bebas. Aku mutusin dia untuk memperoleh satu hal itu, yang sulit kuperoleh darinya. Kenapa sekarang setelah berpisah, dia justru semakin membebaniku?”
“Kamu anggap dia beban? Tapi kamulah yang menyebabkannya begini!” “Kau menyalahkanku, Len?” tanya Dewi terkesiap.
Kedua gadis itu saling tatap. Timbul rasa sesal di hati Lena. Ia sadar semua yang terjadi sebetulnya bukan salah Dewi. Entah siapa yang patut disalahkan.
“Kayaknya kita pesan makanan saja dulu,” ujar Dewi berusaha meredakan ketegangan. Kemudian ia memesan seporsi nasi goreng special dan segelas lemon tea, sementara Lena merasa cukup dengan ice cappuccino-nya yang tinggal setengah gelas.
“Kamu sangat menyayanginya, ya? Bodoh kalau dia sampai nggak tahu,” kata Dewi kemudian.
Lena tersenyum getir.
“Aku ingin dia berubah, Len,” ujar Dewi. “Aku sudah melanjutkan hidupku sendiri, dia juga harus begitu. Bahkan, sekarang aku sudah menemukan pengganti Seno.”
Lena terkejut. Secepat itukah Dewi mebuang Seno? Sementara Seno terkapar dalam sejuta penderitaan batin, Dewi malah…
“Kurasa itu wajar, Len? Ya kan? Sudah waktunya aku melepaskan diri secara total dari Seno. Terus terang aku capek.”
Lena terus terdiam. Berbagai perasaan berkecamuk dalam batinnya. Kemudian diambilnya secarik kertas dan sebatang pulpen dari dalam tas. Ditulisnya sederet huruf dan angka di atas secarik kertas itu. Setelah memasukkan kembali pulpen ke dalam tas, disodorkannya lertas itu kepada Dewi.
“Terserah apa yang mau kamu bicarakan nanti. Tapi setidaknya temuilah dia, aku mohon,” ujar Lena sepenuh hati. “Ini alamat panti rehabilitasinya. Datanglah jam empat sore, biasanya dia lagi duduk-duduk di taman.”
Setelah itu Lena bangkit dari duduknya. Disapunya wajah Dewi dengan tatapannya sambil tersenyum.
“Kalau kamu memang nggak jahat, kamu pasti datang. Sampai ketemu di sana,” ucap Lena sebagai perpisahan.
Dewi tertegun. Ditatapnya kepergian Lena. Lalu dibacanya alamat panti rehabilitasi itu.
“Oh, please Seno…, hentikan semua ini!” pekiknya dalam hati.
* * *

Dewi menatap ragu di atas rerumputan hijau di taman panti itu. Hatinya menjerit pilu saat mendapati Seno yang sedang duduk di bangku taman dalam keadaan menyedihkan. Kedua matanya mengkristal. Ingin sekali ia membalikkan tubuhnya lalu berlari meninggalkan tempat itu. Namun Seno terlanjur melihatnya.
Mata Seno membelalak tak percaya pada apa yang ia lihat. Apakah ini nyata atau hanya fatamorgana? Dewi berada tak jauh dari hadapannya, bisa ia rengkuh dengan sangat mudah. Kalau saja Tuhan masih bersedia mendengarnya, ia berdoa agar semua ini bukan mimpi.
“Dewi…,” bibirnya mengucap lirih.
Dengan beban berjuta ton yang bergelayut di dada, Dewi menghampiri Seno. Dicobanya untuk tegar.
“Ya, ini aku,” kata Dewi pedih. Berat sekali rasanya untuk bersuara. Air matanya sudah membendung. Sementara senyum lebar Seno mengembang.
“Eh, duduk Wi,” tawar Seno. Dewi menurut. “Lena yang memintamu kemari?”
“Iya,” jawab Dewi singkat.
“Ahh, Lena. Aku harus banyak berterima kasih sama dia. Aku kira dia Cuma bercanda.”
Seno menyadari sikap Dewi yang canggung. Ditatapnya gadis itu lekat. Masih seperti dulu, cantik dan lembut. Kalau saja ia masih memiliki hak untuk memeluk gadis itu, pasti sudah dilakukannya sejak tadi. Jantungnya kini berdetak tak karuan.
“Aku nggak nyangka kamu mau ke sini, Wi.”
Akhirnya sebutir air mata meluncur di pipi Dewi. Tapi ia masih tak sanggup membalas tatapan Seno. Dengan suara bergetar ia berkata, “Tolong. Jangan ganggu aku lagi, Sen.”
Hati Seno terasa bagai ditusuk ratusan jarum.
“Sebegitu bencinya kamu padaku?”
“Aku nggak benci kamu, Seno.”
“Lalu apa?”
Dewi menolehkan wajahnya menatap Seno. Air mata sudah deras membasahi kedua pipinya.
“Aku cuma ingin menjalani hidupku dengan tenang. Kenapa kamu nggak pernah rela melepasku?” Dewi nyaris berseru karena emosi.
“Aku nggak pernah bermaksud mengganggumu, Wi. Aku cuma nggak sanggup kehilangan kamu. Aku nggak sanggup kamu tinggalkan.”
“Aku nggak tahan sama kamu, Sen. Kamu selalu mengekang kebebasanku, bahkan sampai sekarang. Aku capek menghadapimu.”
Seno menelan ludah. Kata-kata Dewi itu sungguh tepat sasaran.
“Aku memang salah. Aku sadar, Wi. Makanya aku sangat ingin bertemu denganmu. Aku berharap kamu bersedia memberiku kesempatan kedua. Aku janji akan berubah! Biar langit sore ini yang jadi saksi!”
“Terlambat, Sen. Berapa kali pun kamu berjanji, apa dan siapapun yang jadi saksi, aku sudah terlanjur nggak percaya sama kamu. Aku tegaskan ini terakhir kalinya aku menemuimu. Lapipula…, aku melakukan semua ini untuk Lena, bukan untukmu.”
Setelah berkata, Dewi segera bangkit dari duduknya. Ditatapnya Seno untuk yang terakhir kali. Masih banyak hal yang ingin ia ungkapkan, tapi hanya mampu dilakukannya melalui tatapn itu. Beban di dadanya belum terangkat, masih terasa amat berat. Lalu ia tinggalkan Seno yang masih terguncang akibat kalimatnya yang terakhir.
Dengan tergesa disusurinya koridor panti itu. Saat itulah ia berpapasan dengan Lena. Gadis itu menatapnya heran.
“Dewi?”
Dewi menatap kosong. Matanya masih basah.
“Aku nggak sanggup melihatnya begitu, Len,” akunya. Lalu ditatapnya Lena dalam-dalam. “Aku titipkan dia padamu. Aku yakin kamu bisa menjaganya dengan baik.”
Dewi pun meninggalkan Lena. Telah terjadi sesuatu, pikir Lena. Lalu dengan bingkisan cantik berisi makanan kecil di tangannya, Lena menjumpai Seno yang masih duduk terpaku di bangkunya.
“Seno? Kamu kenapa?”
“Oh, Lena. Bawa bingkisan untukku lagi?” ujar Seno riang.
Lena menatap Seno heran. Diletakkannya bingkisan itu di pangkuan Seno sementara ia sendiri duduk dengan ragu.
“Apa yang barusan kalian bicarakan?”
Seno menghela nafas. Beberapa saat ia murung.
“Sudahlah, Len. Sudah berakhir. Nggak ada kesempatan lagi buatku,” katanya kemudian.
Seharusnya dari dulu Seno menyadari hal itu, piker Lena. Disentuhnya bahu Seno lembut. Kemudian Seno menatapnya sambil mengulas senyum.
“Trims ya, Len. Pertemuanku dengannya yang terakhir ini sudah membuka mata hatiku,” ungkap Seno penuh ketulusan.
“Kamu berhutang banyak padaku.”
“Aku tahu. Aku lagi berpikir bagaimana cara membayarnya.”
“Cukup dengan sebuah janji.”
“Oh ya? Janji apa?”
“Berjanjilah untuk bertahan. Jangan pernah kecewakan aku. Oke?”
“Kalau setiap hari kamu datang dengan sinar di wajahmu itu, aku pasti akan kuat.”
Bukan main bahagianya hati Lena atas perubahan Seno itu. Sejak awal ia yakin, kehadirannya di sisi Seno bukanlah sesuatu yang sia-sia. Lalu Seno merangkulnya erat dan mengajaknya bersama-sama menatap langit sore yang teduh. Membiarkan canda tawa kembali terurai dalam hidup mereka. Memupus segala kenangan pahit, mengubur duka. Dan memberi kesempatan bagi dewi cinta untuk menebarkan bubuk asmaranya.
* * *

KETIKA SENJA MULAI TURUN

Sudah lima belas menit lamanya Anggi duduk terpaku di dalam ruang kelas yang kosong itu. Mentari semakin condong ke barat. Ia duduk di atas bangku yang selama satu tahun itu setia menemani hari-hari menuntut ilmunya di kelas itu. Di sebelahnya adalah bangku milik Dita, sobat karibnya. Mereka biasa bersenda gurau di situ, bahkan di saat pelajaran berlangsung. Sempat tiga kali mereka kena tegur guru. Tapi hari-hari itu sudah berakhir. Mulai saat ini, semuanya hanya akan ia bingkai sebagai kenangan indah.
Ditatapnya ijazah di tangannya, ia sudah resmi lulus. Mulai hari itu dia sudah bukan siswi SMU lagi. Waktu tiga tahun berlalu tanpa terasa, mengukir berbagai peristiwa tak terlupakan di sekolah itu. Indah, pahit…, terangkai menjadi satu dalam benaknya.
Arloji di tangan kiri Anggi menunjukkan pukul setengah enam sore. Dihelanya nafas berat. Seseorang yang tengah ia tunggu tak kunjung dating. Padahal biasanya Nathan selalu tepat waktu. Entah apa yang dijumpai pemuda itu di tengah jalan sampai Anggi harus dibuat menunggu.
Selang beberapa menit kemudian, Nathan muncul di ambang pintu kelas. Dihampirinya Anggi dengan perlahan. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya sehingga langkahnya pun terasa berat.
“Kenapa telat? Nggak biasanya,” ujar Anggi ketika Nathan sudah duduk dihadapannya.
Nathan menunduk dalam-dalam, enggan menatap Anggi. Lalu ia berkata dengan berat, “Terus terang, aku sempat punya niat untuk nggak datang.”
Anggi tercekat, “Kenapa?”
“Aku takut.”
Dua kata yang dilontarkan Nathan itu sanggup menghempaskan Anggi kembali ke dasar jurang. Jurang yang sudah didakinya susah payah, hanya dengan modal tekad dan keyakinan. Sesungguhnya ia pun sangat takut, tapi ia tak ingin Nathan mengetahuinya.
“Tapi ini janji kita, Nat. Janji pada diri kita sendiri. Kita nggak boleh mengkhianati diri sendiri,” Anggi mencoba menguatkan keyakinan Nathan.
Nathan mengangkat wajahnya, ditatapnya Anggi.
“Aku tahu. Tapi…, apa aku nggak boleh sekali ini saja melanggar janji yang kubuat sendiri?”
Seandainya bisa, Anggi pasti sudah melakukannya. Bahkan janji itu mungkin tak kan pernah ada. Keadaan yang memaksa mereka untuk mengucapkan janji itu. Cinta mereka memang tak mungkin bersatu. Itu adalah kenyataan yang harus mereka hadapi.
* * *

Anggi dan Nathan pertama kali bertemu tiga tahun yang lalu, saat mereka masih kelas satu SMU. Mereka satu kelas, dengan tempat duduk berseberangan. Anggi penggemar olah raga basket, kebetulan Nathan sama dengannya. Tetapi Anggi benci matematika, sementara Nathan jagonya. Sehingga Anggi sering meminta bantuan Nathan untuk satu hal itu. Berbagai hal akhirnya mampu mendekatkan mereka, sampai suatu saat benih-benih cinta mulai tumbuh diantara keduanya.
Awal kelas dua, pada suatu senja mereka bertemu di gerbang sekolah. Kebetulan saat itu keduanya baru saja selesai latihan basket.
“Hai, Nggi. Pulang sendirian?” sapa Nathan.
Anggi mengangguk sambil membenahi letak tas ransel di pundaknya.
“Aku antar ya?”
Segurat senyum menghias bibir Anggi. “Emang kamu nggak ada kerjaan?”
“Anggi,” Nathan tertawa kecil. “Sejak pisah kelas di kelas dua ini, kita jadi jarang ngobrol. Ditambah habis liburan panjang. Lama-lama jadi kangen.”
Ganti Anggi yang tertawa kecil. Rasa kangen itu pun sudah ada di hatinya sejak liburan tiba. Entah mengapa sebulan tak bertemu Nathan mendadak jadi masalah besar baginya.
“Sekali-kali pulang telat, demi menghapus rasa kangen,” lanjut Nathan.
“Sering-sering juga boleh, kok.”
Keduanya tertawa lepas. Lalu mereka berjalan bersisian menuju rumah Anggi yang letaknya tidak begitu jauh dari sekolah. Sepanjang perjalanan mereka terus berbincang seru tentang liburan masing-masing. Tapi ketika mereka memandang langit, tiba-tiba keduanya membisu. Keindahan senja di hadapan mereka seolah membius. Mentari bersinar kemerahan berlapis awan kelabu yang lembut. Semua keindahan itu seperti baru pertama kali mereka lihat. Tanpa sadar, langkah keduanya terhenti.
“Langitnya indah,” ujar Anggi kagum.
Nathan menatap Anggi yang bediri di sisinya. Jantungnya berdebar kencang. Sesaat kemudian diberanikannya diri untuk berujar, “Tapi ada yang lebih indah.”
Anggi menoleh membalas tatapan Nathan. “Apa?”
“Di sini bersamamu.”
Ada sesuatu yang berdesir di hati Anggi begitu mendengar kalimat itu. Sesuatu yang membuat batinnya tak tenang, tapi sekaligus menjadikan senja itu jauh lebih indah.
“Aku suka banget sama kamu, sudah dari kelas satu. Tapi baru sekarang aku punya nyali,” Nathan meneruskan.
Aku juga suka kamu, batin Anggi. Namun kata-kata itu tak bisa meluncur dari mulutnya. Tenggorokannya tercekat, lidahnya kelu. Ia hanya bisa menelan ludah karena gugup.
Nathan berkata lagi,” Menurutku, kedekatan kita selama ini harus diperjelas. Mungkin sebaiknya kita pacaran.”
Anggi jauh lebih terkejut lagi. Pacaran? Sebuah hubungan yang mengikat, yang diharapkan dapat menyatukan semua perbedaan. Tapi, ada satu perbedaan diantara mereka yang tak bisa disatukan.
“Kamu tahu kita nggak mungkin,” tutur Anggi.
“Nggak mungkin kenapa?”
“Jangan pura-pura nggak tahu, Nat. Kita nggak mungkin pacaran!”
Nathan terdiam. Ia sudah mengerti apa yang Anggi maksud. Tapi ia tak ingin menerimanya begitu saja.
“Seandainya perbedaan itu nggak ada, kamu mau?”
“Kenyataannya nggak begitu.”
Nathan mendesah berat. “Aku bisa lihat di matamu. Kamu sendiri sangat ingin menolak adanya perbedaan itu.”
Tenggorokan Anggi kembali tercekat. Nathan telah berhasil membaca apa yang ada di pikirannya dan membuatnya terpojok.
“Kalau kamu sudah siap dengan jawaban, cari aku,” ujar Nathan sambil membalikkan tubuhnya lalu melangkah pergi. Ditinggalkannya Anggi termenung sendiri di bawah naungan senja yang semakin redup.
Keesokan harinya, Anggi mencari Nathan. Ia sudah memegang sebuah jawaban yang mungkin akan mengecewakan Nathan. Hati nuraninya sendiri pun menentang. Tapi ia harus tegar.
Mereka bertemu di kantin sekolah. Anggi tak tahu bahwa saat itu Nathan sudah mempersiapkan sesuatu yang tak pernah terlintas di benaknya.
“Apa kamu datang untuk sebuah penolakan?” Tanya nathan ketika mendapati Anggi duduk dengan gelisah di hadapannya. Gadis itu menjadi gentar.
“Kalau begitu, aku ingin mengatakan sesuatu yang kuharap bisa mengubah keputusanmu,” lanjut Nathan. “Aku ingin menawarkan sebuah perjanjian.”
“Perjanjian?”
“Iya. Aku harap kamu mau memberi waktu untuk hubungan kita. Setidaknya satu tahun. Kalau setelah kelas tiga nanti hubungan kita baik-baik saja, kita belum putus, maka… maka…,” Nathan menelan ludah. “Maka, mau nggak mau pas lulus nanti kita harus putus.”
Anggi tercengang. Ia tak percaya Nathan bisa punya pikiran sejauh itu. Perjanjian di atas sebuah hubungan. Hal itu membuatnya semakin gentar untuk mengecewakan Nathan. Pemuda itu kelihatannya tidak main-main.
“Selama dua tahun ini kita masih satu sekolah, masih sering ketemu. Aku nggakl bisa pura-pura nggak memiliki perasaan apapun ke kamu. Tapi setelah lulus nanti kita pisah, aku ingkin bisa lebih menerima kenyataan. Jadi, beri aku kesempatan. Cuma dua tahun, Nggi.”
Anggi nyaris menitikkan air mata. Jawaban yang sejak kemarin sudah ia siapkan masih tergenggam erat, tak kan mungkin sampai ke telinga Nathan. Demi mendengar penuturan Nathan yang tulus, dan demi membahagiakan perasaannya sendiri, Anggi membuat keputusan. Dalam hati ia memohon ijin pada Tuhan agar diberi kesempatan kali ini saja. Hanya dua tahun, bahkan mungkin kurang. Maka diberinya Nathan sebuah anggukan.
* * *
Senja mulai merambat. Sinar mentari yang kemerahan menyelusup melalui kaca jendela kelas. Sepasang muda-mudi itu masih duduk berhadapan, sama-sama dilanda kegalauan.
“Aku mencintaimu, Nggi.”
Anggi menghela nafas berat. Selama dua tahun sering sekali Nathan mengucapkan kalimat itu. Tapi kali ini terdengar berbeda. Ada kepedihan di dalamnya.
“Aku juga. Tapi tetap saja kita harus putus,” ujar Anggi yang mencoba untuk tersenyum.
Nathan tertawa getir. “Aku memang bego ya? Nggak berpikir panjang. Aku nggak pernah nyangka berpisah denganmu ternyata begini sakit.”
Anggi memejamkan kedua matanya. Rasa perih di hatinya terasa semakin menjadi. Dengan luka itu, didakinya kembali tebing yang diharapkan dapat memberinya kekuatan.
Penderitaan Anggi terpancar jelas di wajah gadis itu, sehingga Nathan merasa bersalah. Dengan berat hati ia berkata, “Oke, kita putus!”
Anggi membuka matanya. Tiba-tiba air matanya sudah mulai menggenang dan akhirnya menetes satu per satu. Hubungan cinta mereka yang selama dua tahun terjalin indah, kini berakhir sudah. Kisah-kisah manis itu berakhir begitu saja, seperti sebuah permainan. Nathan tak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menatap Anggi yang mulai menangis. Kedua matanya pun mulai basah. Tapi ada rasa lega di hatinya.
Di bawah naungan senja hari itu, Anggi dan Nathan kembali berjalan bersisian menuju rumah Anggi.
“Kapan kamu berangkat ke Sydney?” tanya Anggi.
“Mungkin minggu depan. Kamu ikut ngantar ya?’
Anggi tersenyum getir. “Nggak janji.”
Nathan ikut tersenyum. “Bagus deh. Mulai sekarang kamu harus lebih hati-hati kalau bikin janji.”
Keduanya tiba di depan rumah Anggi. Nathan hanya mengantar gadis itu sampai pagar. Ia tak ingin perpisahan itu semakin berlarut-larut.
“Kalau sudah sampai sana jangan lupakan aku ya?” ujar Anggi.
Nathan menggenggam erat tangan Anggi. “Nggak akan pernah,” ia memastikan. “Selamat tinggal, Nggi.”
“Jangan bilang begitu! Bilang, sampai jumpa!”
“Sampai jumpa!” seru Nathan sambil melambaikan tangannya. Lalu ia berbalik dan melangkah pergi. Sejak saat itu ia bertekad untuk melupakan Anggi dan berharap tak kan pernah bertemu gadis itu lagi. Karena cinta yang ia rasakan sudah terlanjur dalam.
Anggi menatap punggung Nathan yang semakin menjauh. Ia berpikir seandainya perbedaan itu tak pernah ada. Tapi kenyataan berkata lain. Ia harus menerima dan menghadapinya. Ditegarkannya hati, lalu ia melangkah masuk ke dalam rumah. Dan senja pun mulai turun.
* * *

Thursday, April 26, 2007

HARI SENIN DI JAKARTA

Monday, April 23rd 2007

To day is Monday, time to face the reality. Kadang rasanya libur dua hari tuh kurang. Maunya ditambah sehari… well, mungkin dua hari lagi. Itu berarti masuk kerja cuma tiga hari. Asik banget ya? Tapi… gue nggak boleh berpikir seperti itu. Yang harus gue lakukan setiap hari senin tiba adalah membuang semua kemalasan gue, bangun pagi-pagi dan mempersiapkan diri secantik mungkin supaya bisa berangkat menuju kantor dengan penuh semangat.

Oke. Waktu bangun pagi sih rencananya mau berangkat lebih cepet menghindari macet yang biasanya semakin siang semakin menjadi. Tapi entah kenapa, kenyataannya gue tetep aja siap jam setengah delapan dan berangkat jam delapan kurang lima belas menit. Mungkin kelamaan dandan, kelamaan makan, kelamaan mandi, or… emang semuanya kelamaan? Whatever lah… yang penting semangat gue untuk menghadapi hari senin ini belum luntur.
Naik angkot 15A… jalanan macet. Well, itu adalah satu hal yang wajar kan di Jakarta? Tiap hari juga begitu. Lagipula macetnya nggak parah-parah amat. Pasti bisa sampai UKI sesuai perkiraan. Dan benar, gue sampai di UKI – tempat gue naik bis menuju kantor gue di daerah Gatot Subroto – jam setengah sembilan. Wajar, nggak telat. Gue masih bisa menyebrang jalan setengah berlari, saking semangatnya.

Tapi… kok hari ini Jakarta panas banget sih? Udah gitu, di tempat gue nunggu bis nggak ada tempat berteduh sama sekali. Dan… kenapa pula bis yang mau gue naikin nggak muncul-muncul juga? Lima menit berlalu… sepuluh menit… lima belas menit… gila ya! Ini bis mogok apa gimana? Gue mulai panik. Lima menit di Jakarta tuh berarti banget! Membuang lima belas menit sambil berdiri nunggu bis yang nggak muncul-muncul juga, kepanasan, keringetan, kaki mulai pegel-pegel, bener-bener kurang kerjaan! Semangat gue mulai luntur. Muka gue mulai kusut.

Akhirnya, setelah naik angkot sebentar ke arah Cawang dan nunggu bis disitu, gue menemukan bis yang gue tunggu-tunggu. Tapi gue harus berlari-lari karena itu bis nggak mau berhenti di depan gue (kebetulan ada sederetan pak polisi disitu). Hup! Dengan sigap gue berhasil naik ke dalam bis yang… oh God… penuh banget! Gue terpaksa berdiri berhimpitan sama banyak orang. Uh… sial banget gue hari ini.

Sampai di depan kantor (sepanjang perjalanan dari Cawang sampe kantor berdiri terus, nggak ada yang mau ngasih tempat duduk, hiks!), gue berjalan tergesa-gesa menyeberangi jembatan penyeberangan. Jakarta masih tetap panas. Gue berusaha untuk tersenyum, mengatur nafas supaya nggak kelihatan ngos-ngosan, menegakkan punggung supaya lebih pe-de. Gue masuk gedung kantor gue seolah abis turun dari mobil ber-AC. Tapi begitu gue masuk lift… semangat gue luntur lagi. Gue melihat bayangan diri gue sendiri di dinding lift yang menyerupai cermin. Gue melihat bayangan seorang cewek dengan rambut berantakan, mata kuyu, bedak yang udah luntur, dan kemeja gue kusut… padahal tadi pagi gue udah bela-belain menyetrika ulang kemeja itu biar kelihata rapi. Gue tampak menyedihkan.

Damn! I hate Monday!

I LOVE MY COUNTRY

Gue baru aja baca tulisan bagus hasil karya Putu Wijaya di sebuah majalah. Tentang mengapa kita masih mencintai bangsa ini? Kalau kita ingat, dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, bangsa kita sudah dihujani bencana bertubi-tubi. Belum lama terjadi tsunami yang memporak-porandakan Aceh dan Sumatera Utara, gempa bumi di Yogya dan sekitarnya, lumpur LAPINDO, kebakaran hutan di Kalimantan, ledakkan bom dimana-mana, dan kecelakaan transportasi baik darat, laut, maupun udara. Kejadian demi kejadian itu membuat gue dan banyak orang di negara ini merasa miris dan bertanya-tanya, Ada apa sih dengan bangsa gue? Terus, beberapa orang mulai sibuk mencaci maki pemerintahan, beberapa orang mengutuk bangsanya sendiri, beberapa orang menuding golongan tertentu, then, we live in hate, anger, and fear.

Gue coba membandingkan dengan negeri luar. Well, berhubung gue baru sekali ke luar negri dan negri itu adalah Singapore, jadi gue cuma bisa membandingkannya dengan Singapore. Tapi gue juga nggak bisa membandingkan Singapore dengan seluruh Indonesia karena nggak adil. Indonesia berkali-kali lipat lebih besar daripada Singapore, baik dari segi luas maupun jumlah penduduk. Nggak gampang mengatur sebuah Negara besar. Jadi, gue cuma akan membandingkannya dengan my beloved city, Jakarta.

Perbedaan antara Singapore dan Jakarta sudah gue rasakan begitu gue sampai di Changi airport. Changi adalah salah satu airport terbaik di seluruh dunia. Megah, luas, bersih, nyaman dan penjagaannya ketat. Soekarno Hatta – bocor, kotor, penjaganya lengah, dan nggak ada trolley untuk membawa barang-barang kita karena trolley-nya sudah dikuasai sama calo.

Outside the airport: udara Singapore bersih. Meskipun saat itu cuaca cukup terik, tapi gue nggak merasa kegerahan karena anginnya sejuk. Jalanan juga bersih karena jarak penempatan satu tempat sampah dengan tempat sampah berikutnya cukup dekat. Trotoar lebar-lebar membuat orang-orang nyaman berjalan kaki selama berjam-jam. Traffic jam hanya terjadi di tempat-tempat tertentu dan itupun nggak memakan waktu sampai dua jam. Alat-alat transportasi umum nyaman dan berhenti di tempat semestinya, begitu pula dengan pejalan kaki. Mereka tertib menyeberang di zebra cross dan menuruti perintah traffic light. Berkeliaran jam dua belas malam santai aja. Everyone does it.

Jakarta – polusi udara? Don’t ask. Di Jakarta banyak bis yang bisa mengeluarkan tinta seperti cumi-cumi. Mau buang sampah? Sok atuh… dimana aja boleh. Sampah berserakan biar jadi pekerjaan tukang sapu. Trotoar? Ada sih di beberapa tempat. Tapi sudah dikuasai pedagang kaki lima atau buat lewat motor yang mau menghindari macet. Di tempat lain justru nggak ada trotoar sama sekali. Para pejalan kaki sengsara karena harus jalan melipir takut keserempet mobil. Traffic jam? Kalau Jakarta nggak macet rasanya ada yang kurang, sama seperti orang Indonesia makan nggak pake nasi. Naik kendaraan umum? Mau pergi ke Kp. Rambutan bisa tiba-tiba turun di Cawang, naik metro mini A bisa tiba-tiba pindah ke metro mini B karena sopir metro mini A mau putar balik dan metro mini B kebetulan masih kosong. Belum lagi ancaman copet, rampok, tukang todong, atau tawuran anak SMA. Jalan-jalan jam dua belas malam di Jakarta? Sebaiknya lo punya teman preman atau belajar silat dulu sama Si Pitung.

Kepedihan yang lebih dalam gue rasakan begitu gue akan pulang dari Sigapore ke Jakarta. Diberitakan bahwa Jakarta sudah berubah jadi underwaterworld. Banjir dimana-mana dan tingginya nggak main-main. Akses transportasi dari dan ke bandara Soekarno Hatta putus karena jalan tol arah bandara terendam banjir. Gimana gue bisa pulang?

Tapi, rumah gue di Jakarta. Rumah gue ada di suatu tempat dimana gue harus melalui banjir itu. And I can’t wait to see my family, I want to sleep on my own bed. Jakarta is my hometown, the place where I belong. The place called home. And nothing can stop me from going home.

Apa yang terjadi di Negara kita bukan peran satu atau dua orang, maupun satu atau dua pihak. Bukan cuma salah pemerintah atau orang-orang besar, bukan juga hanya kesalahan rakyat kecil. Semua saling berhubungan. Kata Putu Wijaya dalam tulisannya, “Alasan mengapa kita harus mencintai negeri ini, paling tidak karena kita sudah tidak mencintainya selama ini.” Yap, selama ini gue cuma bisa hidup dengan kebencian, kemarahan, dan perasaan takut. Indonesia adalah rumah gue, gue nggak mungkin benci, marah, dan takut dengan rumah gue sendiri. Dimulai dari diri sendiri. Kalau semua orang punya pemikiran yang sama, dan punya perasaan memiliki serta mencintai negri kita ini, gue yakin, Indonesia bisa berkembang lebih pesat dan bisa menjadi sebuah negara yang membuat warganya merasa bangga.

Anyway, Indonesia is a beautiful city, right?

Friday, March 30, 2007

THE UNFORGIVEN PLAYBOY


Available now at bookstores : THE UNFORGIVEN PLAYBOY

Gimana rasanya ya kalo di tengah hari yg normal and biasa-biasa aja, tiba-tiba lo ketemu sama seorang peramal yg memvonis hidup lo cuma tinggal sebulan lagi?

Kejadian itu yg dialamin si Rico, playboy ganteng yang sanggup bikin hati banyak cewek klepek-klepek. Yang kerjaannya tebar pesona sama cewek-cewek tapi setelah tuh cewek takluk, maen tinggal gitu aja. Pokoknya sebagai seorang umat manusia, si Rico nih cukup punya banyak dosa.

Makanya Rico ketakutan setengah mati waktu seorang peramal bernama Madame Yusa, memvonis umurnya cuma tinggal 1 bulan. Rico kapoookkk. Dia pengen minta maaf sama semua orang yang pernah ia sakiti sebelum waktunya habis. Tapi, apa iya semua orang mau maafin Rico begitu aja? Kira-kira berhasil nggak ya dia?

Mau tau jawabannya? Baca aja bukunya yaaa…

Thursday, March 29, 2007

TRAVEL-HOLIC

Akhir-akhir ini, lebih tepatnya satu tahun belakangan, gue jadi addict sama traveling. Meskipun gak sampai sebulan sekali, at least dalam waktu setahun ini gue udah mengalami kemajuan pesat dalam hal traveling experience. Well, bilang gue norak, bolehlah. Tapi emang semua itu terjadi pas gue menginjak umur 25 tahun. Old enough, or maybe too old untuk merasakan yang namanya pertama kali naik pesawat, pertama kali ke Bandung, ke Bali, dan keluar negri. He he… kasian banget ya gue? Umur udah seperempat abad tapi baru ngalamin hal-hal itu.

Dulu, jamannya sekolah dan kuliah, gue jarang banget keluar kota. Paling-paling bareng keluarga ke Purwokerto, Salatiga, Semarang, atau Solo. Itupun cuma kalau ada momen-momen penting, such as Lebaran, ada sodara nikahan, atau nengokin kakak gue yang emang tinggal di Solo. Sekalinya jalan sama temen adalah pas kuliah. Gue dan dua orang temen satu tim gue jalan ke Yogya dan Solo untuk kepentingan riset tentang batik karena waktu itu tim gue memilih batik sebagai tema tugas akhir. Tapi sebenarnya sih tujuan utama gue dan temen-temen gue itu adalah jalan-jalan, hi hi. Oh ya, ada satu daerah lagi yang pernah gue kunjungi, yaitu Dieng. Gue ke tempat itu bareng rombongan sekolah gue waktu SD. Lumayan lah, jarang-jarang kan ada yang pergi ke situ? Padahal Dieng tuh bagus banget lohhh…

Oke, back to the topic. Jadi selama ini gue jarang traveling karena ada beberapa faktor. Pertama dan yang paling penting adalah masalah budget. Sampai kuliah kan gue masih nodong or-tu, dana dari or-tu cuma cukup buat ongkos sekolah dan jajan, jadi gak heran kalau gue cuma bisa pergi keluar kota bareng mereka. Kedua, entah kenapa angkatan gue waktu SMP dan SMA adalah angkatan apes, atau emang sekolah gue jarang ngadain acara karya wisata ya? Jadi selama enam tahun di SMP dan SMA, gak pernah satu kalipun sekolah gue ngadain acara jalan-jalan. Oke, pas SMP pernah sih, tapi jalan-jalannya cuma ke Sea World, Monumen Pancasila Sakti, dan sebangsanya. Oh, mungkin itu termasuk tamasya keluar kota juga ya, mengingat dulu gue sekolah di Depok, he he. Dan yang lebih parah lagi waktu SMA. Bener-bener ga ada acara jalan-jalan. Boro-boro, acara perpisahan gue pas kelas tiga aja diadain di lapangan sekolah! Again, kasian ya gueee…?

Trus…, karena faktor pertama itu tadi, gue jadi bawaannya males pergi-pergi keluar kota. Banyak yang harus dipikirin, planning-nya harus dibikin secermat mungkin. Gue juga gak punya keberanian untuk jalan sendiri, harus ada temen. Takut nyasar, takut dijahatin orang, dan takut-takut yang lain. Tapi… setelah gue kerja dan punya duit sendiri, semua itu berubah. In fact, setiap abis pulang dari jalan-jalan, rasanya gak puas dan pengen jalan lagi. Entah ke tempat yang sama atau beda. Pokoknya jalan! And it’s become an addict.

Pertama kali gue ke Bandung (hey, I’m not ashamed to admit it) adalah di awal April 2006, sekalian ngerayain ulang tahun gue yang ke 25. Trus, pada suatu long weekend di tahun yang sama, gue ngambil cuti dan berencana pergi ke Solo, tempat kakak gue. Alone, by train. Tapi karena keabisan tiket kereta, rencana gue itu batal. Pas banget di hari itu terjadi gempa besar-besaran di Yogyakarta, Solo dan sekitarnya. Thank God. Eh.., dasar rejeki nggak kemana. Pas gue masuk kantor di hari berikutnya, bos gue meminta gue untuk ikut rombongan klien gue tour ke Bali. Gratis, bo.. My first time to Bali, also my first time on a plane (I’m still not ashamed to admit it). Dan di bulan Februari lalu, gue dapet kesempatan untuk jalan-jalan ke Singapore. Pertama kali keluar negri, kedua kalinya naik pesawat, dan akhirnya… gue punya paspor juga.

Gara-gara itu, sekarang setiap ada temen gue yang mo jalan keluar kota, bawaannya pengen ikut. Meskipun pas akhir bulan gue terpaksa sibuk ngutang sana-ngutang sini buat menyambung hidup sampai gajian tiba. He he.. soalnya kalo dah jalan nggak mungkin nggak ngabis-ngabisin duit. Finally, beberapa hari yang lalu gue ke Bandung lagi. Deket, murah meriah, bikin ketagihan. Dan gue dapet rain coat keren banget disitu!

Jadi kalo orang yang ketagihan alcohol dibilang alcoholic, ketagihan kerja dibilang workaholic, ketagihan shopping dibilang shoppaholic, mungkin gue bisa dibilang… travelholic! Haa… whatever it calls, pokoknya gue gak sabar pengen jalan lagi!

Wednesday, March 28, 2007

CATATAN MANUSIA JAKARTA

Pagi ini, aku melihat seorang lelaki tua dengan wajah kisut-kisut keriput di pinggir jalan yang ramai dan macet luar biasa. Di bawah teriknya mentari pagi ia mengenakan selembar karton yang melapisi pakaian hijau-kuningnya. Karton itu bertuliskan sebuah brand obat sakit kepala yang baru keluar di pasaran. Dengan karton berukuran besar yang kelihatan amat menyulitkan geraknya, lelaki tua itu menjajakan sachet demi sachet obat sakit kepala itu kepada kendaraan yang berlalu lalang.

Lalu aku teringat pada seorang wanita. Wanita separuh baya yang menjajakan sebuah produk minuman keliling kota, dari rumah ke rumah berjalan kaki sambil menarik kereta yang berisikan botol minuman tersebut. Dengan kostum kemeja berlengan panjang, celana panjang hijau dan sepatu kets, ia berjuang tanpa kenal lelah. Terik mentari dan kaki pegal tak jadi soal. Berharap setidaknya semua botol minuman di dalam kereta laku keras.

Teringat pula aku ketika aku sedang mengunjungi sebuah pameran pembangunan. Aku melihat orang itu, aku yakin ia seorang lelaki meski aku tak bisa melihat wajahnya. Ia mengenakan kostum badut yang membalut rapat tubuhnya. Ditelusurinya stand demi stand sambil menjajakan sebuah produk daging olahan. Tanpa gairah, dengan langkah ogah-ogahan, dan aku yakin di dalam kostum itu ia kepanasan.

Hal itu juga mengingatkanku pada tukang sampah. Para lelaki tua yang berpeluh mendorong gerobak sampah mereka yang bau, yang membuat semua orang ingin segera memalingkan muka, pergi menjauh sambil menutup hidung mereka.


Aku pun berpikir, betapa gigihnya mereka berjuang hanya demi untung yang tidak seberapa. Namun, dari untung yang menurutku tidak seberapa itulah mereka bisa memberi makan atau bahkan memasukkan ke sekolah anak-anak mereka. Lalu, mengapa ada sebagian orang yang memilih berprofesi sebagai tukang copet, tukang todong, atau pengemis? Mengapa pula ada orang-orang yang terlalu idealis, harga dirinya terlalu tinggi sehingga hanya menginginkan pekerjaan yang sesuai dengan egonya dan akhirnya terjerat dalam status pengangguran?

Lalu mengapa ada aku? Seorang perempuan lajang tanpa beban yang bekerja di belakang meja, dengan fasilitas lengkap, di dalam ruangan sejuk ber-AC, tapi masih saja merasa serba kekurangan?


Wednesday, May 19, 2004

ANYER

untuk seseorang yang pernah menggores kenangan tak terlupakan...

Kita ada disana. Duduk bersisian di bawah terik mentari Anyer di bulan Oktober. Melemparkan pandangan ke laut lepas, ketika ombak menjilati bibir pantai. Menyaksikan tawa mereka yang bercanda di air, atau membangun istana pasir.

Tak ada sepatah pun kata terucap dari bibir. Hanya batin yang sibuk bicara, harus apa? Siapa yang harus memulai, siapa pula yang harus mengakhiri?

Kita juga ada disana. Ketika nyala api unggun mulai redup. Ketika langit hitam merata terbentang di atas kepala. Ketika tak setitik pun bintang menyapa. Ketika debur ombak yang menhantam batu karang terdengar amat menyeramkan. Ketika angin malam membelai kulitku hingga merinding aku dibuatnya.

Kau ada di sisiku, tetapi juga dinding itu. Dinding yang hanya bisa terlihat oleh mataku. Membentengi tubuhmu, hatimu,jiwamu. Yang membuat kita akan selalu menjadi sepasang manusia yang hidup di dunia yang berbeda.

Entah siapa yang membangun dinding itu, aku atau kamu? Tapi sejak pertama kali kita bertemu dinding itu sudah ada disana. Bercokol dengan angkuhnya. Tebal dan kokoh, tak ada kekuatan untuk membobolnya. Tak ada pintu atau jendela yang bisa dibuka, yang mengijinkanku untuk menyeberang dan menikmati duniamu, juga sebaliknya.

Lalu, berakhirlah sudah. Dalam sepi, dalam tanya, dalam sesal yang kan selalu menggantung di dada. Perpisahan yang sesungguhnya. Menamatkan sesuatu yang memang harus tamat.

And life goes on...

Seorang Lelaki di Pinggir Jembatan

Lelaki kurus itu duduk di sisi jembatan. Jauh di bawahnya tampak pemandangan sebuah jalan tol yang dijejali beratus-ratus kendaraan. Jauh di atasnya terbentang langit petang yang kemerahan. Langit tanpa awan, bulan, maupun bintang. Hanya sang mentari yang tampaknya masih bertahan, bergerak ke ufuk barat lalu tenggelam.

Sepasang bola mata lelaki itu menatap tanpa ada yang ditatap, memandang tanpa ada yang dipandang. Kosong melompong, sama seperti otaknya, sama seperti hatinya. Tapi masih ada sesuatu yang tertinggal dalam ingatannya.

Ia teringat ketika pada suatu pagi ia terbangun dari tidur dalam keadaan sangat terkejut. Ia tak tahu apa yang membuatnya begitu. Mungkinkah mimpi buruk? Tidak, ia tidak merasa bermimpi apapun pada malam sebelumnya.

Tetapi saat itu ia merasa ada sesuatu yang membangunkannya, menyuruhnya segera bersiap keluar kamar, keluar rumah, memperingatkan semua orang bahwa akan terjadi sebuah bencana.

“Hati-hati, Bu. Sebentar lagi dunia ini akan diserbu pasukan setan dari neraka. Mereka bisa ada dimana-mana. Mau di pasar, di jalan, mereka juga pintar menyamar jadi manusia biasa seperti kita,” katanya pada istrinya yang sudah bangun lebih dulu.
Sang istri hanya menatapnya heran sambil tetap melakukan kesibukannya menyiapkan makanan pagi untuk dijual.
“Bu! Dengarkan saya!”
“Kamu ini pagi-pagi buta sudah ngomong nggak karuan! Dasar pengangguran! Mending kamu bantu layani orang-orang di warung!”

Orang-orang di warung…, mereka juga harus diberi peringatan, pikir lelaki itu. Maka ia pun bergegas menuju warung. Sesampainya di sana, ia segera menyampaikan kalimat yang tadi sudah ia sampaikan kepada istrinya.

Bapak-bapak yang ada di warung, yang sedang meneguk secangkir kopi atau melumat pisang goreng menatap lelaki itu.
“Wah, Bapak ketinggalan jaman. Dari dulu yang namanya setan sudah ada di sekeliling kita, yang berwujud manusia juga banyak,” ujar salah satu dari mereka.
“Tapi setan yang sekarang benar-benar ingin menjajah kita, mencuci otak kita sampai nggak bisa mikir lagi, sampai kita sudah nggak punya lagi hati nurani!”
“Bah! Pagi-pagi begini sudah ribut masalah setan-setanan! Nanti saja, tengah malam lebih seru!” sahut yang satunya lagi.

Lelaki itu tercenung sesaat. Kemudian ia menyadari tak ada gunanya bicara di tempat itu, tak ada seorang pun yang mempercayainya. Maka ia berlari ke jalan, menyampaikan kabar buruk itu kepada setiap orang yang berpapasan. Tapi apa yang ia dapat? Cercaan, makian, bahkan ketidakpedulian. Namun lelaki itu tak mau menyerah begitu saja. Ia terus berjalan, berlari, semakin menjauh. Berseru kepada semua orang, “Dajjal akan datang!”. Kembali cercaan, makian, dan ketidakpedulian yang ia dapatkan.

Hingga lelaki itu tiba di pinggir sebuah jembatan, dengan langit senja menggantung di angkasa. Ia terduduk. Pikirannya mulai kalut. Tak ada seorang pun percaya atau sekedar mau mendengar kata-katanya. Rasa takut pun merebak. Istrinya, orang-orang di warung, juga semua orang yang ia jumpai di perjalanan, pasti sudah menjadi korban pasukan setan. Mereka pasti sudah dicuci otak, hatinya diambil sampai tak lagi punya hati. Itulah sebab mereka semua tak mau mendengarkannya.

Hati lelaki itu pun pedih, terkoyak dalam. Ia terlambat, terlambat untuk menyelamatkan orang-orang itu, terlambat menyelamatkan istri tercintanya. Lelaki itu pun menangis. Ditatapnya arus kendaraan jalan tol di bawah jembatan. Lampu-lampu sorot yang menyilaukan, bergerak perlahan. Lama-kelamaan tatapannya kosong, juga hati dan pikirannya. Tapi ada satu hal yang terlintas di otaknya. Ia harus memberi pelajaran pada setan-setan itu. Cara yang paling tepat adalah dengan menyusup ke sarang musuh, menghancurkannya dari dalam, sama seperti yang mereka lakukan pada dunia. Maka ia harus pergi ke neraka!

Lelaki itu bangkit, menaiki pagar pembatas jembatan. Lalu ia melompat, terjun bebas ke arah jalan tol yang padat kendaraan. Terjun bebas menuju neraka.

Jakarta, 26 Mei 2004