Thursday, June 21, 2007

KETIKA SENJA MULAI TURUN

Sudah lima belas menit lamanya Anggi duduk terpaku di dalam ruang kelas yang kosong itu. Mentari semakin condong ke barat. Ia duduk di atas bangku yang selama satu tahun itu setia menemani hari-hari menuntut ilmunya di kelas itu. Di sebelahnya adalah bangku milik Dita, sobat karibnya. Mereka biasa bersenda gurau di situ, bahkan di saat pelajaran berlangsung. Sempat tiga kali mereka kena tegur guru. Tapi hari-hari itu sudah berakhir. Mulai saat ini, semuanya hanya akan ia bingkai sebagai kenangan indah.
Ditatapnya ijazah di tangannya, ia sudah resmi lulus. Mulai hari itu dia sudah bukan siswi SMU lagi. Waktu tiga tahun berlalu tanpa terasa, mengukir berbagai peristiwa tak terlupakan di sekolah itu. Indah, pahit…, terangkai menjadi satu dalam benaknya.
Arloji di tangan kiri Anggi menunjukkan pukul setengah enam sore. Dihelanya nafas berat. Seseorang yang tengah ia tunggu tak kunjung dating. Padahal biasanya Nathan selalu tepat waktu. Entah apa yang dijumpai pemuda itu di tengah jalan sampai Anggi harus dibuat menunggu.
Selang beberapa menit kemudian, Nathan muncul di ambang pintu kelas. Dihampirinya Anggi dengan perlahan. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya sehingga langkahnya pun terasa berat.
“Kenapa telat? Nggak biasanya,” ujar Anggi ketika Nathan sudah duduk dihadapannya.
Nathan menunduk dalam-dalam, enggan menatap Anggi. Lalu ia berkata dengan berat, “Terus terang, aku sempat punya niat untuk nggak datang.”
Anggi tercekat, “Kenapa?”
“Aku takut.”
Dua kata yang dilontarkan Nathan itu sanggup menghempaskan Anggi kembali ke dasar jurang. Jurang yang sudah didakinya susah payah, hanya dengan modal tekad dan keyakinan. Sesungguhnya ia pun sangat takut, tapi ia tak ingin Nathan mengetahuinya.
“Tapi ini janji kita, Nat. Janji pada diri kita sendiri. Kita nggak boleh mengkhianati diri sendiri,” Anggi mencoba menguatkan keyakinan Nathan.
Nathan mengangkat wajahnya, ditatapnya Anggi.
“Aku tahu. Tapi…, apa aku nggak boleh sekali ini saja melanggar janji yang kubuat sendiri?”
Seandainya bisa, Anggi pasti sudah melakukannya. Bahkan janji itu mungkin tak kan pernah ada. Keadaan yang memaksa mereka untuk mengucapkan janji itu. Cinta mereka memang tak mungkin bersatu. Itu adalah kenyataan yang harus mereka hadapi.
* * *

Anggi dan Nathan pertama kali bertemu tiga tahun yang lalu, saat mereka masih kelas satu SMU. Mereka satu kelas, dengan tempat duduk berseberangan. Anggi penggemar olah raga basket, kebetulan Nathan sama dengannya. Tetapi Anggi benci matematika, sementara Nathan jagonya. Sehingga Anggi sering meminta bantuan Nathan untuk satu hal itu. Berbagai hal akhirnya mampu mendekatkan mereka, sampai suatu saat benih-benih cinta mulai tumbuh diantara keduanya.
Awal kelas dua, pada suatu senja mereka bertemu di gerbang sekolah. Kebetulan saat itu keduanya baru saja selesai latihan basket.
“Hai, Nggi. Pulang sendirian?” sapa Nathan.
Anggi mengangguk sambil membenahi letak tas ransel di pundaknya.
“Aku antar ya?”
Segurat senyum menghias bibir Anggi. “Emang kamu nggak ada kerjaan?”
“Anggi,” Nathan tertawa kecil. “Sejak pisah kelas di kelas dua ini, kita jadi jarang ngobrol. Ditambah habis liburan panjang. Lama-lama jadi kangen.”
Ganti Anggi yang tertawa kecil. Rasa kangen itu pun sudah ada di hatinya sejak liburan tiba. Entah mengapa sebulan tak bertemu Nathan mendadak jadi masalah besar baginya.
“Sekali-kali pulang telat, demi menghapus rasa kangen,” lanjut Nathan.
“Sering-sering juga boleh, kok.”
Keduanya tertawa lepas. Lalu mereka berjalan bersisian menuju rumah Anggi yang letaknya tidak begitu jauh dari sekolah. Sepanjang perjalanan mereka terus berbincang seru tentang liburan masing-masing. Tapi ketika mereka memandang langit, tiba-tiba keduanya membisu. Keindahan senja di hadapan mereka seolah membius. Mentari bersinar kemerahan berlapis awan kelabu yang lembut. Semua keindahan itu seperti baru pertama kali mereka lihat. Tanpa sadar, langkah keduanya terhenti.
“Langitnya indah,” ujar Anggi kagum.
Nathan menatap Anggi yang bediri di sisinya. Jantungnya berdebar kencang. Sesaat kemudian diberanikannya diri untuk berujar, “Tapi ada yang lebih indah.”
Anggi menoleh membalas tatapan Nathan. “Apa?”
“Di sini bersamamu.”
Ada sesuatu yang berdesir di hati Anggi begitu mendengar kalimat itu. Sesuatu yang membuat batinnya tak tenang, tapi sekaligus menjadikan senja itu jauh lebih indah.
“Aku suka banget sama kamu, sudah dari kelas satu. Tapi baru sekarang aku punya nyali,” Nathan meneruskan.
Aku juga suka kamu, batin Anggi. Namun kata-kata itu tak bisa meluncur dari mulutnya. Tenggorokannya tercekat, lidahnya kelu. Ia hanya bisa menelan ludah karena gugup.
Nathan berkata lagi,” Menurutku, kedekatan kita selama ini harus diperjelas. Mungkin sebaiknya kita pacaran.”
Anggi jauh lebih terkejut lagi. Pacaran? Sebuah hubungan yang mengikat, yang diharapkan dapat menyatukan semua perbedaan. Tapi, ada satu perbedaan diantara mereka yang tak bisa disatukan.
“Kamu tahu kita nggak mungkin,” tutur Anggi.
“Nggak mungkin kenapa?”
“Jangan pura-pura nggak tahu, Nat. Kita nggak mungkin pacaran!”
Nathan terdiam. Ia sudah mengerti apa yang Anggi maksud. Tapi ia tak ingin menerimanya begitu saja.
“Seandainya perbedaan itu nggak ada, kamu mau?”
“Kenyataannya nggak begitu.”
Nathan mendesah berat. “Aku bisa lihat di matamu. Kamu sendiri sangat ingin menolak adanya perbedaan itu.”
Tenggorokan Anggi kembali tercekat. Nathan telah berhasil membaca apa yang ada di pikirannya dan membuatnya terpojok.
“Kalau kamu sudah siap dengan jawaban, cari aku,” ujar Nathan sambil membalikkan tubuhnya lalu melangkah pergi. Ditinggalkannya Anggi termenung sendiri di bawah naungan senja yang semakin redup.
Keesokan harinya, Anggi mencari Nathan. Ia sudah memegang sebuah jawaban yang mungkin akan mengecewakan Nathan. Hati nuraninya sendiri pun menentang. Tapi ia harus tegar.
Mereka bertemu di kantin sekolah. Anggi tak tahu bahwa saat itu Nathan sudah mempersiapkan sesuatu yang tak pernah terlintas di benaknya.
“Apa kamu datang untuk sebuah penolakan?” Tanya nathan ketika mendapati Anggi duduk dengan gelisah di hadapannya. Gadis itu menjadi gentar.
“Kalau begitu, aku ingin mengatakan sesuatu yang kuharap bisa mengubah keputusanmu,” lanjut Nathan. “Aku ingin menawarkan sebuah perjanjian.”
“Perjanjian?”
“Iya. Aku harap kamu mau memberi waktu untuk hubungan kita. Setidaknya satu tahun. Kalau setelah kelas tiga nanti hubungan kita baik-baik saja, kita belum putus, maka… maka…,” Nathan menelan ludah. “Maka, mau nggak mau pas lulus nanti kita harus putus.”
Anggi tercengang. Ia tak percaya Nathan bisa punya pikiran sejauh itu. Perjanjian di atas sebuah hubungan. Hal itu membuatnya semakin gentar untuk mengecewakan Nathan. Pemuda itu kelihatannya tidak main-main.
“Selama dua tahun ini kita masih satu sekolah, masih sering ketemu. Aku nggakl bisa pura-pura nggak memiliki perasaan apapun ke kamu. Tapi setelah lulus nanti kita pisah, aku ingkin bisa lebih menerima kenyataan. Jadi, beri aku kesempatan. Cuma dua tahun, Nggi.”
Anggi nyaris menitikkan air mata. Jawaban yang sejak kemarin sudah ia siapkan masih tergenggam erat, tak kan mungkin sampai ke telinga Nathan. Demi mendengar penuturan Nathan yang tulus, dan demi membahagiakan perasaannya sendiri, Anggi membuat keputusan. Dalam hati ia memohon ijin pada Tuhan agar diberi kesempatan kali ini saja. Hanya dua tahun, bahkan mungkin kurang. Maka diberinya Nathan sebuah anggukan.
* * *
Senja mulai merambat. Sinar mentari yang kemerahan menyelusup melalui kaca jendela kelas. Sepasang muda-mudi itu masih duduk berhadapan, sama-sama dilanda kegalauan.
“Aku mencintaimu, Nggi.”
Anggi menghela nafas berat. Selama dua tahun sering sekali Nathan mengucapkan kalimat itu. Tapi kali ini terdengar berbeda. Ada kepedihan di dalamnya.
“Aku juga. Tapi tetap saja kita harus putus,” ujar Anggi yang mencoba untuk tersenyum.
Nathan tertawa getir. “Aku memang bego ya? Nggak berpikir panjang. Aku nggak pernah nyangka berpisah denganmu ternyata begini sakit.”
Anggi memejamkan kedua matanya. Rasa perih di hatinya terasa semakin menjadi. Dengan luka itu, didakinya kembali tebing yang diharapkan dapat memberinya kekuatan.
Penderitaan Anggi terpancar jelas di wajah gadis itu, sehingga Nathan merasa bersalah. Dengan berat hati ia berkata, “Oke, kita putus!”
Anggi membuka matanya. Tiba-tiba air matanya sudah mulai menggenang dan akhirnya menetes satu per satu. Hubungan cinta mereka yang selama dua tahun terjalin indah, kini berakhir sudah. Kisah-kisah manis itu berakhir begitu saja, seperti sebuah permainan. Nathan tak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menatap Anggi yang mulai menangis. Kedua matanya pun mulai basah. Tapi ada rasa lega di hatinya.
Di bawah naungan senja hari itu, Anggi dan Nathan kembali berjalan bersisian menuju rumah Anggi.
“Kapan kamu berangkat ke Sydney?” tanya Anggi.
“Mungkin minggu depan. Kamu ikut ngantar ya?’
Anggi tersenyum getir. “Nggak janji.”
Nathan ikut tersenyum. “Bagus deh. Mulai sekarang kamu harus lebih hati-hati kalau bikin janji.”
Keduanya tiba di depan rumah Anggi. Nathan hanya mengantar gadis itu sampai pagar. Ia tak ingin perpisahan itu semakin berlarut-larut.
“Kalau sudah sampai sana jangan lupakan aku ya?” ujar Anggi.
Nathan menggenggam erat tangan Anggi. “Nggak akan pernah,” ia memastikan. “Selamat tinggal, Nggi.”
“Jangan bilang begitu! Bilang, sampai jumpa!”
“Sampai jumpa!” seru Nathan sambil melambaikan tangannya. Lalu ia berbalik dan melangkah pergi. Sejak saat itu ia bertekad untuk melupakan Anggi dan berharap tak kan pernah bertemu gadis itu lagi. Karena cinta yang ia rasakan sudah terlanjur dalam.
Anggi menatap punggung Nathan yang semakin menjauh. Ia berpikir seandainya perbedaan itu tak pernah ada. Tapi kenyataan berkata lain. Ia harus menerima dan menghadapinya. Ditegarkannya hati, lalu ia melangkah masuk ke dalam rumah. Dan senja pun mulai turun.
* * *

No comments: