Thursday, June 21, 2007

KEEP ON WRITING

Dua cerpen dibawah, yang judulnya KETIKA SENJA MULAI TURUN dan SEBERKAS KASIH TULUS adalah cerpen-cerpen yang gue buat semasa kuliah, gak lama setelah gue lulus SMA. Kebetulan waktu itu memang jamannya gue masih suka banget nulis. gue seneng banget waktu salah satu dari karya iseng gue di masa itu, DI BAWAH GERIMIS dimuat di majalah ANEKA Yess! meskipun oleh editornya diganti judul menjadi KALA HUJAN TENGAH HARI. gue inget waktu itu masih pake nama samaran Ariesta Palupi. honornya nggak seberapa, klo nggak salah cuma tujuh puluh lima ribu rupiah. bayangin... kalo jaman sekarang uang segitu buat apa ya?

Setelah itu, gue jarang banget nulis. apalagi setelah lulus kuliah dan kerja. boro-boro nulis cerpen atau novel, nulis diary aja nggak pernah! rasanya gue nggak pernah punya waktu cukup atau daya imajinasi yang lumayan untuk menulis. tapi semenjak ditemukannya blog, gue mulai belajar pelan-pelan, menulis lagi. mungkin tentang sesuatu yang ringan dan berasal dari kehidupan gue sehari-hari. sampai akhirnya gue mulai iseng menulis sesuatu dengan serius. dan lahirlah novel perdana gue THE UNFORGIVEN PLAYBOY. gue tahu novel gue itu masih tergolong "teenlit", walaupun gue bukan orang yang suka mengkotak-kotakkan sebuah karya. gue tahu novel gue belom bisa dibilang karya sastra. tapi setidaknya gue bisa memacu diri gue untuk terus berkarya, untuk terus menghasilkan tulisan-tulisan yang lebih baik dan digemari banyak orang. karena nggak semua orang bisa punya kesempatan seperti gue.

Ada seseorang yang pernah bilang, "jangan terobsesi untuk membuat tulisan kita terbit atau menghasilkan uang. menulislah di saat ingin menulis, tanpa beban, mengalir begitu saja". seandainya ada yang berminat dengan tulisan kita itu, anggaplah hal itu sebagai bonus. sedangkan kegiatan menulis itu sendiri adalah suatu bentuk kepuasan batin.

yap, seperti yang sedang gue lakukan saat ini. writing for fun. so... keep on writing guys!

SEBERKAS KASIH TULUS

Lena melangkahkan kedua kakinya dengan mantap menyusuri koridor bangunan panti rehabilitasi itu. Tangannya mendekap sebuah bingkisan cantik berisi buah-buahan segar. Wajahnya bersinar tak kalah terang dengan mentari di sore itu. Ia tak memperdulikan beberapa pasang mata yang menatapnya jeran. Jarang sekali ada seorang gadis cantik, terlebih lagi ceria dan bersemangat, yang berkunjung ke tempat itu.
Langkahnya terhenti tatkala dilihatnya seorang pemuda yang sedang duduk di bangku taman. Itukah Seno? Terakhir kali melihatnya, Seno juga tampak seperti itu. Sudah sebulan Seno dirawat di panti rehabilitasi, memang baru sekarang Lena menjenguknya. Setelah mendengar kabar itu, Lena menaruh harapan besar bahwa keadaan Seno akan jauh lebih baik dibandingkan saat pemuda itu masih ketergantungan obat. Tapi kenyataannya, tak ada perubahan sedikitpun. Sinar di wajah Lena berangsur redup.
Lena masih berdiri kira-kira lima meter dari Seno, menatap pemuda yang kelihatan ringkih itu. Wajah Seno begitu pucat, seolah tak ada setetes pun darah yang mengalir. Kedua matanya menatap annar angkasa luas. Hati Lena terasa ngilu.
Beberapa detik kemudian Lena memutuskan untuk menghampiri Seno.
“Seno?” sapanya. “Masih ingat aku kan?”
Sepasang mata keruh milik Seno menatap gadis itu. Senyum tipis merekah di bibirnya. “Eh, Lena. Ngapain kamu kesini?”
Hati Lena sedikit terhibur mengetahui ternyata Seno masih sadar. Dia khawatir kalau-kalau pikiran Seno saat itu sedang melayang ke dunia lain. Sinar di wajah Lena perlahan muncul kembali. Lalu ia duduk di samping pemuda itu.
“Aku kesini ya nengokin kamu,” ujarnya sambil menyerahkan bingkisan di tangannya ke pangkuan Seno. “Buat kamu. Maaf baru bisa kesini sekarang. Kamu tahu sendiri bagaimana kejamnya dosen-dosen kita kalau ngasih tugas.”
Seno menatap bingkisan yang menurutnya sangat berharga itu. Lebih berharga dibandingkan segala yang pernah ia terima dari orang tuanya.
“Makasih ya? Aku pikir kamu sudah lupa sama aku,” ujarnya. “Bagaimana kampus?”
“Anak-anak titip salam, mereka kangen sama kamu.”
Kembali senyum tipi situ singgah di bibir Seno. Dicobanya untuk mengingat teman-teman kuliahnya satu per satu. Sulit. Sudah hamper tiga bulan ia menelantarkan kuliahnya semenjak mulai bergaul dengan narkoba, hingga harus berakhir dip anti rehabilitasi ini. Tapi ada satu sosok yang tak kan pernah bisa ia lupakan.
“Bagaimana dia?” tanyanya dengan suara lirih.
Lena tercekat. ‘Dia’ yang dimaksud Seno pastilah Dewi. Dewi mantan kekasih Seno, gadis yang menyebabkan Seno seperti ini. Seno sudah menganggap Dewi adalah segalanya, seseorang yang bisa melepaskan dahaganya akan cinta dan kasih saying yang tak pernah ia dapatkan dari orang tuanya. Itulah sebabnya setelah mereka putus, Seno kehilangan pegangan. Ia memilih untuk lari dari kenyataan dan memperoleh mimpi-mimpinya melalui narkoba. Cukup lama ia terbelit dalam lingkaran setan itu, hanya Lena yang tahu. Sebagai seorang sahabat, Lena selalu berusaha menolong. Tapi yang ia dapatkan hanyalah makian dari Seno. Meskipun begitu, Lena pantang menyerah.
Keadaan Seno yang makin lama semakin terpuruk membuat Lena tak sanggup lagi menyimpan rahasia itu. Orang tua Seno, juga Dewi, akhirnya mengetahui keadaan Seno yang sebenarnya. Tapi mereka juga tak bisa berbuat banyak hingga suatu saat Seno ditemukan di atas tempat tidurnya dalam keadaan overd dosis.
“Sudah lama aku nggak ketemu dia, Sen,” jawab Lena getir, tahu bahwa posisi Dewi di hati Seno sudah tak tergoyahkan.
Seno tertunduk. Ia tak menyalahkan Dewi karena meninggalkannya. Dia memang terlalu posesif, bahkan cenderung mengekang kebebasan gadis itu. Tapi ia melakukan semua itu semata-mata karena takut kehilangan Dewi.
Ditepisnya bayangan Dewi dari benaknya mengingat di sisinya kini ada gadis lain yang sudah berbuat terlalu banyak untuknya.
“Orang tuamu nggak keberatan kamu ke sini?”
Lena menggeleng. “Justru mereka yang menyuruhku ke sini. Buah-buahan itu juga titipan dari mereka,” tuturnya.
Betapa beruntungnya gadis ini, batin Seno. Orang tuanya memiliki samudera cinta yang tak berujung, membuat Lena tumbuh menjadi seorang gadis yang berhati mulia.
“Mereka sangat baik ya, Len?” puji Seno. “Asal kamu tahu, selama aku dirawat di sini baru dua kali papa dan mama mengunjungiku, itu pun nggak lama. Mungkin mereka memang ingin membuangku ke tempat yang membosankan ini.”
“Seno!” seru Lena tertahan.
“Itu kenyataan, Len. Aku telah menciptakan aib besar buat keluarga. Menyembunyikanku di sini adalah jalan yang terbaik. Menurutmu apa yang mereka katakana pada orang-orang diluar sana? Mungkin mereka bilang aku sedang belajar di luar negri, seperti abangku itu.”
Lena menggelengkan kepalanya berulang kali. “Kamu salah!” protesnya. “Mereka mengirimmu ke sini cuma supaya kamu cepat sembuh! Mereka sayang kamu! Aku minta kamu jangan selalu berprasangka buruk pada mereka!”
Seno menatap Lena dengan senyum tipisnya. Menurutnya Lena tak tahu banyak tentang bagaimana keluarganya. Lagipula hati gadis itu memang tak pernah mengenal kebencian.
“Sudahlah, aku nggak mau berdebat sama kamu,” ujar Seno mengalah.
Mereka terdiam sejenak, memandang awan putih yangn berarak pelan. Kemudian Lena kembali berbicara, “Berapa lama lagi?”
“Kalau perawatannya lancar, kurasa nggak lama lagi aku keluar,” jelas Seno.
“Jangan betah-betah ya? Diluar sana ada dunia penuh warna yang menantimu,” Lena menyemangati. Lalu teringat padanya satu hal yang mungkin sangat dibutuhkan oleh Seno.
“Sen, kau ingin ketemu Dewi?”
Seno tercekat. “Dewi?”
“Tenang, Sen. Aku akan membawanya ke hadapanmu.”
* * *

Ada sesuatu yang mengganjal batin Dewi ketika ia memenuhi permintaan Lena untuk bertemu di sebuah café petang itu. Selama ini, segala sesuatu yang pernah mereka bicarakan pasti ada kaitannya dengan Seno. Masih ada sisa-sisa cinta di hati Dewi untuk Seno. Itulah yang membuatnya belum bisa seratus persen melupakan Seno.
“Halo, apa kabar, Len?” sapa Dewi sambil duduk di hadapan Lena.
Lena menatap lurus gelas minuman di depannnya. “Nggak perlu basa-basi. Kamu nggak pernah mau tahu kabarku, bahkan kabar Seno,” ujarnya datar.
Mata Dewi membulat. “Hey…, nggak usah sinis begitu dong! Oke, aku tahu kamu pasti mau bicara soal dia. Ada apa lagi dengannya?”
Tatapan Lena beralih dari gelas minuman itu ke wajah Dewi. Ditegakkannya punggung.
“Temuilah dia, Wi. Cuma kamu yang bisa menolongnya.”
Dewi mendesah panjang. Kapan beban itu akan pergi darinya? Ditopangkannya dagu dengan tangan kanan.
“Aku bukannya nggak mau menolong, aku bahkan akan melakukan apapun untuk membantunya. Tapi sampai kapan, Len? Aku ingin dia bangkit, aku ingin dia melupakanku. Aku butuh hidup bebas. Aku mutusin dia untuk memperoleh satu hal itu, yang sulit kuperoleh darinya. Kenapa sekarang setelah berpisah, dia justru semakin membebaniku?”
“Kamu anggap dia beban? Tapi kamulah yang menyebabkannya begini!” “Kau menyalahkanku, Len?” tanya Dewi terkesiap.
Kedua gadis itu saling tatap. Timbul rasa sesal di hati Lena. Ia sadar semua yang terjadi sebetulnya bukan salah Dewi. Entah siapa yang patut disalahkan.
“Kayaknya kita pesan makanan saja dulu,” ujar Dewi berusaha meredakan ketegangan. Kemudian ia memesan seporsi nasi goreng special dan segelas lemon tea, sementara Lena merasa cukup dengan ice cappuccino-nya yang tinggal setengah gelas.
“Kamu sangat menyayanginya, ya? Bodoh kalau dia sampai nggak tahu,” kata Dewi kemudian.
Lena tersenyum getir.
“Aku ingin dia berubah, Len,” ujar Dewi. “Aku sudah melanjutkan hidupku sendiri, dia juga harus begitu. Bahkan, sekarang aku sudah menemukan pengganti Seno.”
Lena terkejut. Secepat itukah Dewi mebuang Seno? Sementara Seno terkapar dalam sejuta penderitaan batin, Dewi malah…
“Kurasa itu wajar, Len? Ya kan? Sudah waktunya aku melepaskan diri secara total dari Seno. Terus terang aku capek.”
Lena terus terdiam. Berbagai perasaan berkecamuk dalam batinnya. Kemudian diambilnya secarik kertas dan sebatang pulpen dari dalam tas. Ditulisnya sederet huruf dan angka di atas secarik kertas itu. Setelah memasukkan kembali pulpen ke dalam tas, disodorkannya lertas itu kepada Dewi.
“Terserah apa yang mau kamu bicarakan nanti. Tapi setidaknya temuilah dia, aku mohon,” ujar Lena sepenuh hati. “Ini alamat panti rehabilitasinya. Datanglah jam empat sore, biasanya dia lagi duduk-duduk di taman.”
Setelah itu Lena bangkit dari duduknya. Disapunya wajah Dewi dengan tatapannya sambil tersenyum.
“Kalau kamu memang nggak jahat, kamu pasti datang. Sampai ketemu di sana,” ucap Lena sebagai perpisahan.
Dewi tertegun. Ditatapnya kepergian Lena. Lalu dibacanya alamat panti rehabilitasi itu.
“Oh, please Seno…, hentikan semua ini!” pekiknya dalam hati.
* * *

Dewi menatap ragu di atas rerumputan hijau di taman panti itu. Hatinya menjerit pilu saat mendapati Seno yang sedang duduk di bangku taman dalam keadaan menyedihkan. Kedua matanya mengkristal. Ingin sekali ia membalikkan tubuhnya lalu berlari meninggalkan tempat itu. Namun Seno terlanjur melihatnya.
Mata Seno membelalak tak percaya pada apa yang ia lihat. Apakah ini nyata atau hanya fatamorgana? Dewi berada tak jauh dari hadapannya, bisa ia rengkuh dengan sangat mudah. Kalau saja Tuhan masih bersedia mendengarnya, ia berdoa agar semua ini bukan mimpi.
“Dewi…,” bibirnya mengucap lirih.
Dengan beban berjuta ton yang bergelayut di dada, Dewi menghampiri Seno. Dicobanya untuk tegar.
“Ya, ini aku,” kata Dewi pedih. Berat sekali rasanya untuk bersuara. Air matanya sudah membendung. Sementara senyum lebar Seno mengembang.
“Eh, duduk Wi,” tawar Seno. Dewi menurut. “Lena yang memintamu kemari?”
“Iya,” jawab Dewi singkat.
“Ahh, Lena. Aku harus banyak berterima kasih sama dia. Aku kira dia Cuma bercanda.”
Seno menyadari sikap Dewi yang canggung. Ditatapnya gadis itu lekat. Masih seperti dulu, cantik dan lembut. Kalau saja ia masih memiliki hak untuk memeluk gadis itu, pasti sudah dilakukannya sejak tadi. Jantungnya kini berdetak tak karuan.
“Aku nggak nyangka kamu mau ke sini, Wi.”
Akhirnya sebutir air mata meluncur di pipi Dewi. Tapi ia masih tak sanggup membalas tatapan Seno. Dengan suara bergetar ia berkata, “Tolong. Jangan ganggu aku lagi, Sen.”
Hati Seno terasa bagai ditusuk ratusan jarum.
“Sebegitu bencinya kamu padaku?”
“Aku nggak benci kamu, Seno.”
“Lalu apa?”
Dewi menolehkan wajahnya menatap Seno. Air mata sudah deras membasahi kedua pipinya.
“Aku cuma ingin menjalani hidupku dengan tenang. Kenapa kamu nggak pernah rela melepasku?” Dewi nyaris berseru karena emosi.
“Aku nggak pernah bermaksud mengganggumu, Wi. Aku cuma nggak sanggup kehilangan kamu. Aku nggak sanggup kamu tinggalkan.”
“Aku nggak tahan sama kamu, Sen. Kamu selalu mengekang kebebasanku, bahkan sampai sekarang. Aku capek menghadapimu.”
Seno menelan ludah. Kata-kata Dewi itu sungguh tepat sasaran.
“Aku memang salah. Aku sadar, Wi. Makanya aku sangat ingin bertemu denganmu. Aku berharap kamu bersedia memberiku kesempatan kedua. Aku janji akan berubah! Biar langit sore ini yang jadi saksi!”
“Terlambat, Sen. Berapa kali pun kamu berjanji, apa dan siapapun yang jadi saksi, aku sudah terlanjur nggak percaya sama kamu. Aku tegaskan ini terakhir kalinya aku menemuimu. Lapipula…, aku melakukan semua ini untuk Lena, bukan untukmu.”
Setelah berkata, Dewi segera bangkit dari duduknya. Ditatapnya Seno untuk yang terakhir kali. Masih banyak hal yang ingin ia ungkapkan, tapi hanya mampu dilakukannya melalui tatapn itu. Beban di dadanya belum terangkat, masih terasa amat berat. Lalu ia tinggalkan Seno yang masih terguncang akibat kalimatnya yang terakhir.
Dengan tergesa disusurinya koridor panti itu. Saat itulah ia berpapasan dengan Lena. Gadis itu menatapnya heran.
“Dewi?”
Dewi menatap kosong. Matanya masih basah.
“Aku nggak sanggup melihatnya begitu, Len,” akunya. Lalu ditatapnya Lena dalam-dalam. “Aku titipkan dia padamu. Aku yakin kamu bisa menjaganya dengan baik.”
Dewi pun meninggalkan Lena. Telah terjadi sesuatu, pikir Lena. Lalu dengan bingkisan cantik berisi makanan kecil di tangannya, Lena menjumpai Seno yang masih duduk terpaku di bangkunya.
“Seno? Kamu kenapa?”
“Oh, Lena. Bawa bingkisan untukku lagi?” ujar Seno riang.
Lena menatap Seno heran. Diletakkannya bingkisan itu di pangkuan Seno sementara ia sendiri duduk dengan ragu.
“Apa yang barusan kalian bicarakan?”
Seno menghela nafas. Beberapa saat ia murung.
“Sudahlah, Len. Sudah berakhir. Nggak ada kesempatan lagi buatku,” katanya kemudian.
Seharusnya dari dulu Seno menyadari hal itu, piker Lena. Disentuhnya bahu Seno lembut. Kemudian Seno menatapnya sambil mengulas senyum.
“Trims ya, Len. Pertemuanku dengannya yang terakhir ini sudah membuka mata hatiku,” ungkap Seno penuh ketulusan.
“Kamu berhutang banyak padaku.”
“Aku tahu. Aku lagi berpikir bagaimana cara membayarnya.”
“Cukup dengan sebuah janji.”
“Oh ya? Janji apa?”
“Berjanjilah untuk bertahan. Jangan pernah kecewakan aku. Oke?”
“Kalau setiap hari kamu datang dengan sinar di wajahmu itu, aku pasti akan kuat.”
Bukan main bahagianya hati Lena atas perubahan Seno itu. Sejak awal ia yakin, kehadirannya di sisi Seno bukanlah sesuatu yang sia-sia. Lalu Seno merangkulnya erat dan mengajaknya bersama-sama menatap langit sore yang teduh. Membiarkan canda tawa kembali terurai dalam hidup mereka. Memupus segala kenangan pahit, mengubur duka. Dan memberi kesempatan bagi dewi cinta untuk menebarkan bubuk asmaranya.
* * *

KETIKA SENJA MULAI TURUN

Sudah lima belas menit lamanya Anggi duduk terpaku di dalam ruang kelas yang kosong itu. Mentari semakin condong ke barat. Ia duduk di atas bangku yang selama satu tahun itu setia menemani hari-hari menuntut ilmunya di kelas itu. Di sebelahnya adalah bangku milik Dita, sobat karibnya. Mereka biasa bersenda gurau di situ, bahkan di saat pelajaran berlangsung. Sempat tiga kali mereka kena tegur guru. Tapi hari-hari itu sudah berakhir. Mulai saat ini, semuanya hanya akan ia bingkai sebagai kenangan indah.
Ditatapnya ijazah di tangannya, ia sudah resmi lulus. Mulai hari itu dia sudah bukan siswi SMU lagi. Waktu tiga tahun berlalu tanpa terasa, mengukir berbagai peristiwa tak terlupakan di sekolah itu. Indah, pahit…, terangkai menjadi satu dalam benaknya.
Arloji di tangan kiri Anggi menunjukkan pukul setengah enam sore. Dihelanya nafas berat. Seseorang yang tengah ia tunggu tak kunjung dating. Padahal biasanya Nathan selalu tepat waktu. Entah apa yang dijumpai pemuda itu di tengah jalan sampai Anggi harus dibuat menunggu.
Selang beberapa menit kemudian, Nathan muncul di ambang pintu kelas. Dihampirinya Anggi dengan perlahan. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya sehingga langkahnya pun terasa berat.
“Kenapa telat? Nggak biasanya,” ujar Anggi ketika Nathan sudah duduk dihadapannya.
Nathan menunduk dalam-dalam, enggan menatap Anggi. Lalu ia berkata dengan berat, “Terus terang, aku sempat punya niat untuk nggak datang.”
Anggi tercekat, “Kenapa?”
“Aku takut.”
Dua kata yang dilontarkan Nathan itu sanggup menghempaskan Anggi kembali ke dasar jurang. Jurang yang sudah didakinya susah payah, hanya dengan modal tekad dan keyakinan. Sesungguhnya ia pun sangat takut, tapi ia tak ingin Nathan mengetahuinya.
“Tapi ini janji kita, Nat. Janji pada diri kita sendiri. Kita nggak boleh mengkhianati diri sendiri,” Anggi mencoba menguatkan keyakinan Nathan.
Nathan mengangkat wajahnya, ditatapnya Anggi.
“Aku tahu. Tapi…, apa aku nggak boleh sekali ini saja melanggar janji yang kubuat sendiri?”
Seandainya bisa, Anggi pasti sudah melakukannya. Bahkan janji itu mungkin tak kan pernah ada. Keadaan yang memaksa mereka untuk mengucapkan janji itu. Cinta mereka memang tak mungkin bersatu. Itu adalah kenyataan yang harus mereka hadapi.
* * *

Anggi dan Nathan pertama kali bertemu tiga tahun yang lalu, saat mereka masih kelas satu SMU. Mereka satu kelas, dengan tempat duduk berseberangan. Anggi penggemar olah raga basket, kebetulan Nathan sama dengannya. Tetapi Anggi benci matematika, sementara Nathan jagonya. Sehingga Anggi sering meminta bantuan Nathan untuk satu hal itu. Berbagai hal akhirnya mampu mendekatkan mereka, sampai suatu saat benih-benih cinta mulai tumbuh diantara keduanya.
Awal kelas dua, pada suatu senja mereka bertemu di gerbang sekolah. Kebetulan saat itu keduanya baru saja selesai latihan basket.
“Hai, Nggi. Pulang sendirian?” sapa Nathan.
Anggi mengangguk sambil membenahi letak tas ransel di pundaknya.
“Aku antar ya?”
Segurat senyum menghias bibir Anggi. “Emang kamu nggak ada kerjaan?”
“Anggi,” Nathan tertawa kecil. “Sejak pisah kelas di kelas dua ini, kita jadi jarang ngobrol. Ditambah habis liburan panjang. Lama-lama jadi kangen.”
Ganti Anggi yang tertawa kecil. Rasa kangen itu pun sudah ada di hatinya sejak liburan tiba. Entah mengapa sebulan tak bertemu Nathan mendadak jadi masalah besar baginya.
“Sekali-kali pulang telat, demi menghapus rasa kangen,” lanjut Nathan.
“Sering-sering juga boleh, kok.”
Keduanya tertawa lepas. Lalu mereka berjalan bersisian menuju rumah Anggi yang letaknya tidak begitu jauh dari sekolah. Sepanjang perjalanan mereka terus berbincang seru tentang liburan masing-masing. Tapi ketika mereka memandang langit, tiba-tiba keduanya membisu. Keindahan senja di hadapan mereka seolah membius. Mentari bersinar kemerahan berlapis awan kelabu yang lembut. Semua keindahan itu seperti baru pertama kali mereka lihat. Tanpa sadar, langkah keduanya terhenti.
“Langitnya indah,” ujar Anggi kagum.
Nathan menatap Anggi yang bediri di sisinya. Jantungnya berdebar kencang. Sesaat kemudian diberanikannya diri untuk berujar, “Tapi ada yang lebih indah.”
Anggi menoleh membalas tatapan Nathan. “Apa?”
“Di sini bersamamu.”
Ada sesuatu yang berdesir di hati Anggi begitu mendengar kalimat itu. Sesuatu yang membuat batinnya tak tenang, tapi sekaligus menjadikan senja itu jauh lebih indah.
“Aku suka banget sama kamu, sudah dari kelas satu. Tapi baru sekarang aku punya nyali,” Nathan meneruskan.
Aku juga suka kamu, batin Anggi. Namun kata-kata itu tak bisa meluncur dari mulutnya. Tenggorokannya tercekat, lidahnya kelu. Ia hanya bisa menelan ludah karena gugup.
Nathan berkata lagi,” Menurutku, kedekatan kita selama ini harus diperjelas. Mungkin sebaiknya kita pacaran.”
Anggi jauh lebih terkejut lagi. Pacaran? Sebuah hubungan yang mengikat, yang diharapkan dapat menyatukan semua perbedaan. Tapi, ada satu perbedaan diantara mereka yang tak bisa disatukan.
“Kamu tahu kita nggak mungkin,” tutur Anggi.
“Nggak mungkin kenapa?”
“Jangan pura-pura nggak tahu, Nat. Kita nggak mungkin pacaran!”
Nathan terdiam. Ia sudah mengerti apa yang Anggi maksud. Tapi ia tak ingin menerimanya begitu saja.
“Seandainya perbedaan itu nggak ada, kamu mau?”
“Kenyataannya nggak begitu.”
Nathan mendesah berat. “Aku bisa lihat di matamu. Kamu sendiri sangat ingin menolak adanya perbedaan itu.”
Tenggorokan Anggi kembali tercekat. Nathan telah berhasil membaca apa yang ada di pikirannya dan membuatnya terpojok.
“Kalau kamu sudah siap dengan jawaban, cari aku,” ujar Nathan sambil membalikkan tubuhnya lalu melangkah pergi. Ditinggalkannya Anggi termenung sendiri di bawah naungan senja yang semakin redup.
Keesokan harinya, Anggi mencari Nathan. Ia sudah memegang sebuah jawaban yang mungkin akan mengecewakan Nathan. Hati nuraninya sendiri pun menentang. Tapi ia harus tegar.
Mereka bertemu di kantin sekolah. Anggi tak tahu bahwa saat itu Nathan sudah mempersiapkan sesuatu yang tak pernah terlintas di benaknya.
“Apa kamu datang untuk sebuah penolakan?” Tanya nathan ketika mendapati Anggi duduk dengan gelisah di hadapannya. Gadis itu menjadi gentar.
“Kalau begitu, aku ingin mengatakan sesuatu yang kuharap bisa mengubah keputusanmu,” lanjut Nathan. “Aku ingin menawarkan sebuah perjanjian.”
“Perjanjian?”
“Iya. Aku harap kamu mau memberi waktu untuk hubungan kita. Setidaknya satu tahun. Kalau setelah kelas tiga nanti hubungan kita baik-baik saja, kita belum putus, maka… maka…,” Nathan menelan ludah. “Maka, mau nggak mau pas lulus nanti kita harus putus.”
Anggi tercengang. Ia tak percaya Nathan bisa punya pikiran sejauh itu. Perjanjian di atas sebuah hubungan. Hal itu membuatnya semakin gentar untuk mengecewakan Nathan. Pemuda itu kelihatannya tidak main-main.
“Selama dua tahun ini kita masih satu sekolah, masih sering ketemu. Aku nggakl bisa pura-pura nggak memiliki perasaan apapun ke kamu. Tapi setelah lulus nanti kita pisah, aku ingkin bisa lebih menerima kenyataan. Jadi, beri aku kesempatan. Cuma dua tahun, Nggi.”
Anggi nyaris menitikkan air mata. Jawaban yang sejak kemarin sudah ia siapkan masih tergenggam erat, tak kan mungkin sampai ke telinga Nathan. Demi mendengar penuturan Nathan yang tulus, dan demi membahagiakan perasaannya sendiri, Anggi membuat keputusan. Dalam hati ia memohon ijin pada Tuhan agar diberi kesempatan kali ini saja. Hanya dua tahun, bahkan mungkin kurang. Maka diberinya Nathan sebuah anggukan.
* * *
Senja mulai merambat. Sinar mentari yang kemerahan menyelusup melalui kaca jendela kelas. Sepasang muda-mudi itu masih duduk berhadapan, sama-sama dilanda kegalauan.
“Aku mencintaimu, Nggi.”
Anggi menghela nafas berat. Selama dua tahun sering sekali Nathan mengucapkan kalimat itu. Tapi kali ini terdengar berbeda. Ada kepedihan di dalamnya.
“Aku juga. Tapi tetap saja kita harus putus,” ujar Anggi yang mencoba untuk tersenyum.
Nathan tertawa getir. “Aku memang bego ya? Nggak berpikir panjang. Aku nggak pernah nyangka berpisah denganmu ternyata begini sakit.”
Anggi memejamkan kedua matanya. Rasa perih di hatinya terasa semakin menjadi. Dengan luka itu, didakinya kembali tebing yang diharapkan dapat memberinya kekuatan.
Penderitaan Anggi terpancar jelas di wajah gadis itu, sehingga Nathan merasa bersalah. Dengan berat hati ia berkata, “Oke, kita putus!”
Anggi membuka matanya. Tiba-tiba air matanya sudah mulai menggenang dan akhirnya menetes satu per satu. Hubungan cinta mereka yang selama dua tahun terjalin indah, kini berakhir sudah. Kisah-kisah manis itu berakhir begitu saja, seperti sebuah permainan. Nathan tak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menatap Anggi yang mulai menangis. Kedua matanya pun mulai basah. Tapi ada rasa lega di hatinya.
Di bawah naungan senja hari itu, Anggi dan Nathan kembali berjalan bersisian menuju rumah Anggi.
“Kapan kamu berangkat ke Sydney?” tanya Anggi.
“Mungkin minggu depan. Kamu ikut ngantar ya?’
Anggi tersenyum getir. “Nggak janji.”
Nathan ikut tersenyum. “Bagus deh. Mulai sekarang kamu harus lebih hati-hati kalau bikin janji.”
Keduanya tiba di depan rumah Anggi. Nathan hanya mengantar gadis itu sampai pagar. Ia tak ingin perpisahan itu semakin berlarut-larut.
“Kalau sudah sampai sana jangan lupakan aku ya?” ujar Anggi.
Nathan menggenggam erat tangan Anggi. “Nggak akan pernah,” ia memastikan. “Selamat tinggal, Nggi.”
“Jangan bilang begitu! Bilang, sampai jumpa!”
“Sampai jumpa!” seru Nathan sambil melambaikan tangannya. Lalu ia berbalik dan melangkah pergi. Sejak saat itu ia bertekad untuk melupakan Anggi dan berharap tak kan pernah bertemu gadis itu lagi. Karena cinta yang ia rasakan sudah terlanjur dalam.
Anggi menatap punggung Nathan yang semakin menjauh. Ia berpikir seandainya perbedaan itu tak pernah ada. Tapi kenyataan berkata lain. Ia harus menerima dan menghadapinya. Ditegarkannya hati, lalu ia melangkah masuk ke dalam rumah. Dan senja pun mulai turun.
* * *