Friday, March 30, 2007

THE UNFORGIVEN PLAYBOY


Available now at bookstores : THE UNFORGIVEN PLAYBOY

Gimana rasanya ya kalo di tengah hari yg normal and biasa-biasa aja, tiba-tiba lo ketemu sama seorang peramal yg memvonis hidup lo cuma tinggal sebulan lagi?

Kejadian itu yg dialamin si Rico, playboy ganteng yang sanggup bikin hati banyak cewek klepek-klepek. Yang kerjaannya tebar pesona sama cewek-cewek tapi setelah tuh cewek takluk, maen tinggal gitu aja. Pokoknya sebagai seorang umat manusia, si Rico nih cukup punya banyak dosa.

Makanya Rico ketakutan setengah mati waktu seorang peramal bernama Madame Yusa, memvonis umurnya cuma tinggal 1 bulan. Rico kapoookkk. Dia pengen minta maaf sama semua orang yang pernah ia sakiti sebelum waktunya habis. Tapi, apa iya semua orang mau maafin Rico begitu aja? Kira-kira berhasil nggak ya dia?

Mau tau jawabannya? Baca aja bukunya yaaa…

Thursday, March 29, 2007

TRAVEL-HOLIC

Akhir-akhir ini, lebih tepatnya satu tahun belakangan, gue jadi addict sama traveling. Meskipun gak sampai sebulan sekali, at least dalam waktu setahun ini gue udah mengalami kemajuan pesat dalam hal traveling experience. Well, bilang gue norak, bolehlah. Tapi emang semua itu terjadi pas gue menginjak umur 25 tahun. Old enough, or maybe too old untuk merasakan yang namanya pertama kali naik pesawat, pertama kali ke Bandung, ke Bali, dan keluar negri. He he… kasian banget ya gue? Umur udah seperempat abad tapi baru ngalamin hal-hal itu.

Dulu, jamannya sekolah dan kuliah, gue jarang banget keluar kota. Paling-paling bareng keluarga ke Purwokerto, Salatiga, Semarang, atau Solo. Itupun cuma kalau ada momen-momen penting, such as Lebaran, ada sodara nikahan, atau nengokin kakak gue yang emang tinggal di Solo. Sekalinya jalan sama temen adalah pas kuliah. Gue dan dua orang temen satu tim gue jalan ke Yogya dan Solo untuk kepentingan riset tentang batik karena waktu itu tim gue memilih batik sebagai tema tugas akhir. Tapi sebenarnya sih tujuan utama gue dan temen-temen gue itu adalah jalan-jalan, hi hi. Oh ya, ada satu daerah lagi yang pernah gue kunjungi, yaitu Dieng. Gue ke tempat itu bareng rombongan sekolah gue waktu SD. Lumayan lah, jarang-jarang kan ada yang pergi ke situ? Padahal Dieng tuh bagus banget lohhh…

Oke, back to the topic. Jadi selama ini gue jarang traveling karena ada beberapa faktor. Pertama dan yang paling penting adalah masalah budget. Sampai kuliah kan gue masih nodong or-tu, dana dari or-tu cuma cukup buat ongkos sekolah dan jajan, jadi gak heran kalau gue cuma bisa pergi keluar kota bareng mereka. Kedua, entah kenapa angkatan gue waktu SMP dan SMA adalah angkatan apes, atau emang sekolah gue jarang ngadain acara karya wisata ya? Jadi selama enam tahun di SMP dan SMA, gak pernah satu kalipun sekolah gue ngadain acara jalan-jalan. Oke, pas SMP pernah sih, tapi jalan-jalannya cuma ke Sea World, Monumen Pancasila Sakti, dan sebangsanya. Oh, mungkin itu termasuk tamasya keluar kota juga ya, mengingat dulu gue sekolah di Depok, he he. Dan yang lebih parah lagi waktu SMA. Bener-bener ga ada acara jalan-jalan. Boro-boro, acara perpisahan gue pas kelas tiga aja diadain di lapangan sekolah! Again, kasian ya gueee…?

Trus…, karena faktor pertama itu tadi, gue jadi bawaannya males pergi-pergi keluar kota. Banyak yang harus dipikirin, planning-nya harus dibikin secermat mungkin. Gue juga gak punya keberanian untuk jalan sendiri, harus ada temen. Takut nyasar, takut dijahatin orang, dan takut-takut yang lain. Tapi… setelah gue kerja dan punya duit sendiri, semua itu berubah. In fact, setiap abis pulang dari jalan-jalan, rasanya gak puas dan pengen jalan lagi. Entah ke tempat yang sama atau beda. Pokoknya jalan! And it’s become an addict.

Pertama kali gue ke Bandung (hey, I’m not ashamed to admit it) adalah di awal April 2006, sekalian ngerayain ulang tahun gue yang ke 25. Trus, pada suatu long weekend di tahun yang sama, gue ngambil cuti dan berencana pergi ke Solo, tempat kakak gue. Alone, by train. Tapi karena keabisan tiket kereta, rencana gue itu batal. Pas banget di hari itu terjadi gempa besar-besaran di Yogyakarta, Solo dan sekitarnya. Thank God. Eh.., dasar rejeki nggak kemana. Pas gue masuk kantor di hari berikutnya, bos gue meminta gue untuk ikut rombongan klien gue tour ke Bali. Gratis, bo.. My first time to Bali, also my first time on a plane (I’m still not ashamed to admit it). Dan di bulan Februari lalu, gue dapet kesempatan untuk jalan-jalan ke Singapore. Pertama kali keluar negri, kedua kalinya naik pesawat, dan akhirnya… gue punya paspor juga.

Gara-gara itu, sekarang setiap ada temen gue yang mo jalan keluar kota, bawaannya pengen ikut. Meskipun pas akhir bulan gue terpaksa sibuk ngutang sana-ngutang sini buat menyambung hidup sampai gajian tiba. He he.. soalnya kalo dah jalan nggak mungkin nggak ngabis-ngabisin duit. Finally, beberapa hari yang lalu gue ke Bandung lagi. Deket, murah meriah, bikin ketagihan. Dan gue dapet rain coat keren banget disitu!

Jadi kalo orang yang ketagihan alcohol dibilang alcoholic, ketagihan kerja dibilang workaholic, ketagihan shopping dibilang shoppaholic, mungkin gue bisa dibilang… travelholic! Haa… whatever it calls, pokoknya gue gak sabar pengen jalan lagi!

Wednesday, March 28, 2007

CATATAN MANUSIA JAKARTA

Pagi ini, aku melihat seorang lelaki tua dengan wajah kisut-kisut keriput di pinggir jalan yang ramai dan macet luar biasa. Di bawah teriknya mentari pagi ia mengenakan selembar karton yang melapisi pakaian hijau-kuningnya. Karton itu bertuliskan sebuah brand obat sakit kepala yang baru keluar di pasaran. Dengan karton berukuran besar yang kelihatan amat menyulitkan geraknya, lelaki tua itu menjajakan sachet demi sachet obat sakit kepala itu kepada kendaraan yang berlalu lalang.

Lalu aku teringat pada seorang wanita. Wanita separuh baya yang menjajakan sebuah produk minuman keliling kota, dari rumah ke rumah berjalan kaki sambil menarik kereta yang berisikan botol minuman tersebut. Dengan kostum kemeja berlengan panjang, celana panjang hijau dan sepatu kets, ia berjuang tanpa kenal lelah. Terik mentari dan kaki pegal tak jadi soal. Berharap setidaknya semua botol minuman di dalam kereta laku keras.

Teringat pula aku ketika aku sedang mengunjungi sebuah pameran pembangunan. Aku melihat orang itu, aku yakin ia seorang lelaki meski aku tak bisa melihat wajahnya. Ia mengenakan kostum badut yang membalut rapat tubuhnya. Ditelusurinya stand demi stand sambil menjajakan sebuah produk daging olahan. Tanpa gairah, dengan langkah ogah-ogahan, dan aku yakin di dalam kostum itu ia kepanasan.

Hal itu juga mengingatkanku pada tukang sampah. Para lelaki tua yang berpeluh mendorong gerobak sampah mereka yang bau, yang membuat semua orang ingin segera memalingkan muka, pergi menjauh sambil menutup hidung mereka.


Aku pun berpikir, betapa gigihnya mereka berjuang hanya demi untung yang tidak seberapa. Namun, dari untung yang menurutku tidak seberapa itulah mereka bisa memberi makan atau bahkan memasukkan ke sekolah anak-anak mereka. Lalu, mengapa ada sebagian orang yang memilih berprofesi sebagai tukang copet, tukang todong, atau pengemis? Mengapa pula ada orang-orang yang terlalu idealis, harga dirinya terlalu tinggi sehingga hanya menginginkan pekerjaan yang sesuai dengan egonya dan akhirnya terjerat dalam status pengangguran?

Lalu mengapa ada aku? Seorang perempuan lajang tanpa beban yang bekerja di belakang meja, dengan fasilitas lengkap, di dalam ruangan sejuk ber-AC, tapi masih saja merasa serba kekurangan?


Wednesday, May 19, 2004

ANYER

untuk seseorang yang pernah menggores kenangan tak terlupakan...

Kita ada disana. Duduk bersisian di bawah terik mentari Anyer di bulan Oktober. Melemparkan pandangan ke laut lepas, ketika ombak menjilati bibir pantai. Menyaksikan tawa mereka yang bercanda di air, atau membangun istana pasir.

Tak ada sepatah pun kata terucap dari bibir. Hanya batin yang sibuk bicara, harus apa? Siapa yang harus memulai, siapa pula yang harus mengakhiri?

Kita juga ada disana. Ketika nyala api unggun mulai redup. Ketika langit hitam merata terbentang di atas kepala. Ketika tak setitik pun bintang menyapa. Ketika debur ombak yang menhantam batu karang terdengar amat menyeramkan. Ketika angin malam membelai kulitku hingga merinding aku dibuatnya.

Kau ada di sisiku, tetapi juga dinding itu. Dinding yang hanya bisa terlihat oleh mataku. Membentengi tubuhmu, hatimu,jiwamu. Yang membuat kita akan selalu menjadi sepasang manusia yang hidup di dunia yang berbeda.

Entah siapa yang membangun dinding itu, aku atau kamu? Tapi sejak pertama kali kita bertemu dinding itu sudah ada disana. Bercokol dengan angkuhnya. Tebal dan kokoh, tak ada kekuatan untuk membobolnya. Tak ada pintu atau jendela yang bisa dibuka, yang mengijinkanku untuk menyeberang dan menikmati duniamu, juga sebaliknya.

Lalu, berakhirlah sudah. Dalam sepi, dalam tanya, dalam sesal yang kan selalu menggantung di dada. Perpisahan yang sesungguhnya. Menamatkan sesuatu yang memang harus tamat.

And life goes on...

Seorang Lelaki di Pinggir Jembatan

Lelaki kurus itu duduk di sisi jembatan. Jauh di bawahnya tampak pemandangan sebuah jalan tol yang dijejali beratus-ratus kendaraan. Jauh di atasnya terbentang langit petang yang kemerahan. Langit tanpa awan, bulan, maupun bintang. Hanya sang mentari yang tampaknya masih bertahan, bergerak ke ufuk barat lalu tenggelam.

Sepasang bola mata lelaki itu menatap tanpa ada yang ditatap, memandang tanpa ada yang dipandang. Kosong melompong, sama seperti otaknya, sama seperti hatinya. Tapi masih ada sesuatu yang tertinggal dalam ingatannya.

Ia teringat ketika pada suatu pagi ia terbangun dari tidur dalam keadaan sangat terkejut. Ia tak tahu apa yang membuatnya begitu. Mungkinkah mimpi buruk? Tidak, ia tidak merasa bermimpi apapun pada malam sebelumnya.

Tetapi saat itu ia merasa ada sesuatu yang membangunkannya, menyuruhnya segera bersiap keluar kamar, keluar rumah, memperingatkan semua orang bahwa akan terjadi sebuah bencana.

“Hati-hati, Bu. Sebentar lagi dunia ini akan diserbu pasukan setan dari neraka. Mereka bisa ada dimana-mana. Mau di pasar, di jalan, mereka juga pintar menyamar jadi manusia biasa seperti kita,” katanya pada istrinya yang sudah bangun lebih dulu.
Sang istri hanya menatapnya heran sambil tetap melakukan kesibukannya menyiapkan makanan pagi untuk dijual.
“Bu! Dengarkan saya!”
“Kamu ini pagi-pagi buta sudah ngomong nggak karuan! Dasar pengangguran! Mending kamu bantu layani orang-orang di warung!”

Orang-orang di warung…, mereka juga harus diberi peringatan, pikir lelaki itu. Maka ia pun bergegas menuju warung. Sesampainya di sana, ia segera menyampaikan kalimat yang tadi sudah ia sampaikan kepada istrinya.

Bapak-bapak yang ada di warung, yang sedang meneguk secangkir kopi atau melumat pisang goreng menatap lelaki itu.
“Wah, Bapak ketinggalan jaman. Dari dulu yang namanya setan sudah ada di sekeliling kita, yang berwujud manusia juga banyak,” ujar salah satu dari mereka.
“Tapi setan yang sekarang benar-benar ingin menjajah kita, mencuci otak kita sampai nggak bisa mikir lagi, sampai kita sudah nggak punya lagi hati nurani!”
“Bah! Pagi-pagi begini sudah ribut masalah setan-setanan! Nanti saja, tengah malam lebih seru!” sahut yang satunya lagi.

Lelaki itu tercenung sesaat. Kemudian ia menyadari tak ada gunanya bicara di tempat itu, tak ada seorang pun yang mempercayainya. Maka ia berlari ke jalan, menyampaikan kabar buruk itu kepada setiap orang yang berpapasan. Tapi apa yang ia dapat? Cercaan, makian, bahkan ketidakpedulian. Namun lelaki itu tak mau menyerah begitu saja. Ia terus berjalan, berlari, semakin menjauh. Berseru kepada semua orang, “Dajjal akan datang!”. Kembali cercaan, makian, dan ketidakpedulian yang ia dapatkan.

Hingga lelaki itu tiba di pinggir sebuah jembatan, dengan langit senja menggantung di angkasa. Ia terduduk. Pikirannya mulai kalut. Tak ada seorang pun percaya atau sekedar mau mendengar kata-katanya. Rasa takut pun merebak. Istrinya, orang-orang di warung, juga semua orang yang ia jumpai di perjalanan, pasti sudah menjadi korban pasukan setan. Mereka pasti sudah dicuci otak, hatinya diambil sampai tak lagi punya hati. Itulah sebab mereka semua tak mau mendengarkannya.

Hati lelaki itu pun pedih, terkoyak dalam. Ia terlambat, terlambat untuk menyelamatkan orang-orang itu, terlambat menyelamatkan istri tercintanya. Lelaki itu pun menangis. Ditatapnya arus kendaraan jalan tol di bawah jembatan. Lampu-lampu sorot yang menyilaukan, bergerak perlahan. Lama-kelamaan tatapannya kosong, juga hati dan pikirannya. Tapi ada satu hal yang terlintas di otaknya. Ia harus memberi pelajaran pada setan-setan itu. Cara yang paling tepat adalah dengan menyusup ke sarang musuh, menghancurkannya dari dalam, sama seperti yang mereka lakukan pada dunia. Maka ia harus pergi ke neraka!

Lelaki itu bangkit, menaiki pagar pembatas jembatan. Lalu ia melompat, terjun bebas ke arah jalan tol yang padat kendaraan. Terjun bebas menuju neraka.

Jakarta, 26 Mei 2004