Thursday, April 26, 2007

HARI SENIN DI JAKARTA

Monday, April 23rd 2007

To day is Monday, time to face the reality. Kadang rasanya libur dua hari tuh kurang. Maunya ditambah sehari… well, mungkin dua hari lagi. Itu berarti masuk kerja cuma tiga hari. Asik banget ya? Tapi… gue nggak boleh berpikir seperti itu. Yang harus gue lakukan setiap hari senin tiba adalah membuang semua kemalasan gue, bangun pagi-pagi dan mempersiapkan diri secantik mungkin supaya bisa berangkat menuju kantor dengan penuh semangat.

Oke. Waktu bangun pagi sih rencananya mau berangkat lebih cepet menghindari macet yang biasanya semakin siang semakin menjadi. Tapi entah kenapa, kenyataannya gue tetep aja siap jam setengah delapan dan berangkat jam delapan kurang lima belas menit. Mungkin kelamaan dandan, kelamaan makan, kelamaan mandi, or… emang semuanya kelamaan? Whatever lah… yang penting semangat gue untuk menghadapi hari senin ini belum luntur.
Naik angkot 15A… jalanan macet. Well, itu adalah satu hal yang wajar kan di Jakarta? Tiap hari juga begitu. Lagipula macetnya nggak parah-parah amat. Pasti bisa sampai UKI sesuai perkiraan. Dan benar, gue sampai di UKI – tempat gue naik bis menuju kantor gue di daerah Gatot Subroto – jam setengah sembilan. Wajar, nggak telat. Gue masih bisa menyebrang jalan setengah berlari, saking semangatnya.

Tapi… kok hari ini Jakarta panas banget sih? Udah gitu, di tempat gue nunggu bis nggak ada tempat berteduh sama sekali. Dan… kenapa pula bis yang mau gue naikin nggak muncul-muncul juga? Lima menit berlalu… sepuluh menit… lima belas menit… gila ya! Ini bis mogok apa gimana? Gue mulai panik. Lima menit di Jakarta tuh berarti banget! Membuang lima belas menit sambil berdiri nunggu bis yang nggak muncul-muncul juga, kepanasan, keringetan, kaki mulai pegel-pegel, bener-bener kurang kerjaan! Semangat gue mulai luntur. Muka gue mulai kusut.

Akhirnya, setelah naik angkot sebentar ke arah Cawang dan nunggu bis disitu, gue menemukan bis yang gue tunggu-tunggu. Tapi gue harus berlari-lari karena itu bis nggak mau berhenti di depan gue (kebetulan ada sederetan pak polisi disitu). Hup! Dengan sigap gue berhasil naik ke dalam bis yang… oh God… penuh banget! Gue terpaksa berdiri berhimpitan sama banyak orang. Uh… sial banget gue hari ini.

Sampai di depan kantor (sepanjang perjalanan dari Cawang sampe kantor berdiri terus, nggak ada yang mau ngasih tempat duduk, hiks!), gue berjalan tergesa-gesa menyeberangi jembatan penyeberangan. Jakarta masih tetap panas. Gue berusaha untuk tersenyum, mengatur nafas supaya nggak kelihatan ngos-ngosan, menegakkan punggung supaya lebih pe-de. Gue masuk gedung kantor gue seolah abis turun dari mobil ber-AC. Tapi begitu gue masuk lift… semangat gue luntur lagi. Gue melihat bayangan diri gue sendiri di dinding lift yang menyerupai cermin. Gue melihat bayangan seorang cewek dengan rambut berantakan, mata kuyu, bedak yang udah luntur, dan kemeja gue kusut… padahal tadi pagi gue udah bela-belain menyetrika ulang kemeja itu biar kelihata rapi. Gue tampak menyedihkan.

Damn! I hate Monday!

I LOVE MY COUNTRY

Gue baru aja baca tulisan bagus hasil karya Putu Wijaya di sebuah majalah. Tentang mengapa kita masih mencintai bangsa ini? Kalau kita ingat, dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, bangsa kita sudah dihujani bencana bertubi-tubi. Belum lama terjadi tsunami yang memporak-porandakan Aceh dan Sumatera Utara, gempa bumi di Yogya dan sekitarnya, lumpur LAPINDO, kebakaran hutan di Kalimantan, ledakkan bom dimana-mana, dan kecelakaan transportasi baik darat, laut, maupun udara. Kejadian demi kejadian itu membuat gue dan banyak orang di negara ini merasa miris dan bertanya-tanya, Ada apa sih dengan bangsa gue? Terus, beberapa orang mulai sibuk mencaci maki pemerintahan, beberapa orang mengutuk bangsanya sendiri, beberapa orang menuding golongan tertentu, then, we live in hate, anger, and fear.

Gue coba membandingkan dengan negeri luar. Well, berhubung gue baru sekali ke luar negri dan negri itu adalah Singapore, jadi gue cuma bisa membandingkannya dengan Singapore. Tapi gue juga nggak bisa membandingkan Singapore dengan seluruh Indonesia karena nggak adil. Indonesia berkali-kali lipat lebih besar daripada Singapore, baik dari segi luas maupun jumlah penduduk. Nggak gampang mengatur sebuah Negara besar. Jadi, gue cuma akan membandingkannya dengan my beloved city, Jakarta.

Perbedaan antara Singapore dan Jakarta sudah gue rasakan begitu gue sampai di Changi airport. Changi adalah salah satu airport terbaik di seluruh dunia. Megah, luas, bersih, nyaman dan penjagaannya ketat. Soekarno Hatta – bocor, kotor, penjaganya lengah, dan nggak ada trolley untuk membawa barang-barang kita karena trolley-nya sudah dikuasai sama calo.

Outside the airport: udara Singapore bersih. Meskipun saat itu cuaca cukup terik, tapi gue nggak merasa kegerahan karena anginnya sejuk. Jalanan juga bersih karena jarak penempatan satu tempat sampah dengan tempat sampah berikutnya cukup dekat. Trotoar lebar-lebar membuat orang-orang nyaman berjalan kaki selama berjam-jam. Traffic jam hanya terjadi di tempat-tempat tertentu dan itupun nggak memakan waktu sampai dua jam. Alat-alat transportasi umum nyaman dan berhenti di tempat semestinya, begitu pula dengan pejalan kaki. Mereka tertib menyeberang di zebra cross dan menuruti perintah traffic light. Berkeliaran jam dua belas malam santai aja. Everyone does it.

Jakarta – polusi udara? Don’t ask. Di Jakarta banyak bis yang bisa mengeluarkan tinta seperti cumi-cumi. Mau buang sampah? Sok atuh… dimana aja boleh. Sampah berserakan biar jadi pekerjaan tukang sapu. Trotoar? Ada sih di beberapa tempat. Tapi sudah dikuasai pedagang kaki lima atau buat lewat motor yang mau menghindari macet. Di tempat lain justru nggak ada trotoar sama sekali. Para pejalan kaki sengsara karena harus jalan melipir takut keserempet mobil. Traffic jam? Kalau Jakarta nggak macet rasanya ada yang kurang, sama seperti orang Indonesia makan nggak pake nasi. Naik kendaraan umum? Mau pergi ke Kp. Rambutan bisa tiba-tiba turun di Cawang, naik metro mini A bisa tiba-tiba pindah ke metro mini B karena sopir metro mini A mau putar balik dan metro mini B kebetulan masih kosong. Belum lagi ancaman copet, rampok, tukang todong, atau tawuran anak SMA. Jalan-jalan jam dua belas malam di Jakarta? Sebaiknya lo punya teman preman atau belajar silat dulu sama Si Pitung.

Kepedihan yang lebih dalam gue rasakan begitu gue akan pulang dari Sigapore ke Jakarta. Diberitakan bahwa Jakarta sudah berubah jadi underwaterworld. Banjir dimana-mana dan tingginya nggak main-main. Akses transportasi dari dan ke bandara Soekarno Hatta putus karena jalan tol arah bandara terendam banjir. Gimana gue bisa pulang?

Tapi, rumah gue di Jakarta. Rumah gue ada di suatu tempat dimana gue harus melalui banjir itu. And I can’t wait to see my family, I want to sleep on my own bed. Jakarta is my hometown, the place where I belong. The place called home. And nothing can stop me from going home.

Apa yang terjadi di Negara kita bukan peran satu atau dua orang, maupun satu atau dua pihak. Bukan cuma salah pemerintah atau orang-orang besar, bukan juga hanya kesalahan rakyat kecil. Semua saling berhubungan. Kata Putu Wijaya dalam tulisannya, “Alasan mengapa kita harus mencintai negeri ini, paling tidak karena kita sudah tidak mencintainya selama ini.” Yap, selama ini gue cuma bisa hidup dengan kebencian, kemarahan, dan perasaan takut. Indonesia adalah rumah gue, gue nggak mungkin benci, marah, dan takut dengan rumah gue sendiri. Dimulai dari diri sendiri. Kalau semua orang punya pemikiran yang sama, dan punya perasaan memiliki serta mencintai negri kita ini, gue yakin, Indonesia bisa berkembang lebih pesat dan bisa menjadi sebuah negara yang membuat warganya merasa bangga.

Anyway, Indonesia is a beautiful city, right?