Thursday, April 26, 2007

I LOVE MY COUNTRY

Gue baru aja baca tulisan bagus hasil karya Putu Wijaya di sebuah majalah. Tentang mengapa kita masih mencintai bangsa ini? Kalau kita ingat, dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, bangsa kita sudah dihujani bencana bertubi-tubi. Belum lama terjadi tsunami yang memporak-porandakan Aceh dan Sumatera Utara, gempa bumi di Yogya dan sekitarnya, lumpur LAPINDO, kebakaran hutan di Kalimantan, ledakkan bom dimana-mana, dan kecelakaan transportasi baik darat, laut, maupun udara. Kejadian demi kejadian itu membuat gue dan banyak orang di negara ini merasa miris dan bertanya-tanya, Ada apa sih dengan bangsa gue? Terus, beberapa orang mulai sibuk mencaci maki pemerintahan, beberapa orang mengutuk bangsanya sendiri, beberapa orang menuding golongan tertentu, then, we live in hate, anger, and fear.

Gue coba membandingkan dengan negeri luar. Well, berhubung gue baru sekali ke luar negri dan negri itu adalah Singapore, jadi gue cuma bisa membandingkannya dengan Singapore. Tapi gue juga nggak bisa membandingkan Singapore dengan seluruh Indonesia karena nggak adil. Indonesia berkali-kali lipat lebih besar daripada Singapore, baik dari segi luas maupun jumlah penduduk. Nggak gampang mengatur sebuah Negara besar. Jadi, gue cuma akan membandingkannya dengan my beloved city, Jakarta.

Perbedaan antara Singapore dan Jakarta sudah gue rasakan begitu gue sampai di Changi airport. Changi adalah salah satu airport terbaik di seluruh dunia. Megah, luas, bersih, nyaman dan penjagaannya ketat. Soekarno Hatta – bocor, kotor, penjaganya lengah, dan nggak ada trolley untuk membawa barang-barang kita karena trolley-nya sudah dikuasai sama calo.

Outside the airport: udara Singapore bersih. Meskipun saat itu cuaca cukup terik, tapi gue nggak merasa kegerahan karena anginnya sejuk. Jalanan juga bersih karena jarak penempatan satu tempat sampah dengan tempat sampah berikutnya cukup dekat. Trotoar lebar-lebar membuat orang-orang nyaman berjalan kaki selama berjam-jam. Traffic jam hanya terjadi di tempat-tempat tertentu dan itupun nggak memakan waktu sampai dua jam. Alat-alat transportasi umum nyaman dan berhenti di tempat semestinya, begitu pula dengan pejalan kaki. Mereka tertib menyeberang di zebra cross dan menuruti perintah traffic light. Berkeliaran jam dua belas malam santai aja. Everyone does it.

Jakarta – polusi udara? Don’t ask. Di Jakarta banyak bis yang bisa mengeluarkan tinta seperti cumi-cumi. Mau buang sampah? Sok atuh… dimana aja boleh. Sampah berserakan biar jadi pekerjaan tukang sapu. Trotoar? Ada sih di beberapa tempat. Tapi sudah dikuasai pedagang kaki lima atau buat lewat motor yang mau menghindari macet. Di tempat lain justru nggak ada trotoar sama sekali. Para pejalan kaki sengsara karena harus jalan melipir takut keserempet mobil. Traffic jam? Kalau Jakarta nggak macet rasanya ada yang kurang, sama seperti orang Indonesia makan nggak pake nasi. Naik kendaraan umum? Mau pergi ke Kp. Rambutan bisa tiba-tiba turun di Cawang, naik metro mini A bisa tiba-tiba pindah ke metro mini B karena sopir metro mini A mau putar balik dan metro mini B kebetulan masih kosong. Belum lagi ancaman copet, rampok, tukang todong, atau tawuran anak SMA. Jalan-jalan jam dua belas malam di Jakarta? Sebaiknya lo punya teman preman atau belajar silat dulu sama Si Pitung.

Kepedihan yang lebih dalam gue rasakan begitu gue akan pulang dari Sigapore ke Jakarta. Diberitakan bahwa Jakarta sudah berubah jadi underwaterworld. Banjir dimana-mana dan tingginya nggak main-main. Akses transportasi dari dan ke bandara Soekarno Hatta putus karena jalan tol arah bandara terendam banjir. Gimana gue bisa pulang?

Tapi, rumah gue di Jakarta. Rumah gue ada di suatu tempat dimana gue harus melalui banjir itu. And I can’t wait to see my family, I want to sleep on my own bed. Jakarta is my hometown, the place where I belong. The place called home. And nothing can stop me from going home.

Apa yang terjadi di Negara kita bukan peran satu atau dua orang, maupun satu atau dua pihak. Bukan cuma salah pemerintah atau orang-orang besar, bukan juga hanya kesalahan rakyat kecil. Semua saling berhubungan. Kata Putu Wijaya dalam tulisannya, “Alasan mengapa kita harus mencintai negeri ini, paling tidak karena kita sudah tidak mencintainya selama ini.” Yap, selama ini gue cuma bisa hidup dengan kebencian, kemarahan, dan perasaan takut. Indonesia adalah rumah gue, gue nggak mungkin benci, marah, dan takut dengan rumah gue sendiri. Dimulai dari diri sendiri. Kalau semua orang punya pemikiran yang sama, dan punya perasaan memiliki serta mencintai negri kita ini, gue yakin, Indonesia bisa berkembang lebih pesat dan bisa menjadi sebuah negara yang membuat warganya merasa bangga.

Anyway, Indonesia is a beautiful city, right?

No comments: