Wednesday, March 28, 2007

Seorang Lelaki di Pinggir Jembatan

Lelaki kurus itu duduk di sisi jembatan. Jauh di bawahnya tampak pemandangan sebuah jalan tol yang dijejali beratus-ratus kendaraan. Jauh di atasnya terbentang langit petang yang kemerahan. Langit tanpa awan, bulan, maupun bintang. Hanya sang mentari yang tampaknya masih bertahan, bergerak ke ufuk barat lalu tenggelam.

Sepasang bola mata lelaki itu menatap tanpa ada yang ditatap, memandang tanpa ada yang dipandang. Kosong melompong, sama seperti otaknya, sama seperti hatinya. Tapi masih ada sesuatu yang tertinggal dalam ingatannya.

Ia teringat ketika pada suatu pagi ia terbangun dari tidur dalam keadaan sangat terkejut. Ia tak tahu apa yang membuatnya begitu. Mungkinkah mimpi buruk? Tidak, ia tidak merasa bermimpi apapun pada malam sebelumnya.

Tetapi saat itu ia merasa ada sesuatu yang membangunkannya, menyuruhnya segera bersiap keluar kamar, keluar rumah, memperingatkan semua orang bahwa akan terjadi sebuah bencana.

“Hati-hati, Bu. Sebentar lagi dunia ini akan diserbu pasukan setan dari neraka. Mereka bisa ada dimana-mana. Mau di pasar, di jalan, mereka juga pintar menyamar jadi manusia biasa seperti kita,” katanya pada istrinya yang sudah bangun lebih dulu.
Sang istri hanya menatapnya heran sambil tetap melakukan kesibukannya menyiapkan makanan pagi untuk dijual.
“Bu! Dengarkan saya!”
“Kamu ini pagi-pagi buta sudah ngomong nggak karuan! Dasar pengangguran! Mending kamu bantu layani orang-orang di warung!”

Orang-orang di warung…, mereka juga harus diberi peringatan, pikir lelaki itu. Maka ia pun bergegas menuju warung. Sesampainya di sana, ia segera menyampaikan kalimat yang tadi sudah ia sampaikan kepada istrinya.

Bapak-bapak yang ada di warung, yang sedang meneguk secangkir kopi atau melumat pisang goreng menatap lelaki itu.
“Wah, Bapak ketinggalan jaman. Dari dulu yang namanya setan sudah ada di sekeliling kita, yang berwujud manusia juga banyak,” ujar salah satu dari mereka.
“Tapi setan yang sekarang benar-benar ingin menjajah kita, mencuci otak kita sampai nggak bisa mikir lagi, sampai kita sudah nggak punya lagi hati nurani!”
“Bah! Pagi-pagi begini sudah ribut masalah setan-setanan! Nanti saja, tengah malam lebih seru!” sahut yang satunya lagi.

Lelaki itu tercenung sesaat. Kemudian ia menyadari tak ada gunanya bicara di tempat itu, tak ada seorang pun yang mempercayainya. Maka ia berlari ke jalan, menyampaikan kabar buruk itu kepada setiap orang yang berpapasan. Tapi apa yang ia dapat? Cercaan, makian, bahkan ketidakpedulian. Namun lelaki itu tak mau menyerah begitu saja. Ia terus berjalan, berlari, semakin menjauh. Berseru kepada semua orang, “Dajjal akan datang!”. Kembali cercaan, makian, dan ketidakpedulian yang ia dapatkan.

Hingga lelaki itu tiba di pinggir sebuah jembatan, dengan langit senja menggantung di angkasa. Ia terduduk. Pikirannya mulai kalut. Tak ada seorang pun percaya atau sekedar mau mendengar kata-katanya. Rasa takut pun merebak. Istrinya, orang-orang di warung, juga semua orang yang ia jumpai di perjalanan, pasti sudah menjadi korban pasukan setan. Mereka pasti sudah dicuci otak, hatinya diambil sampai tak lagi punya hati. Itulah sebab mereka semua tak mau mendengarkannya.

Hati lelaki itu pun pedih, terkoyak dalam. Ia terlambat, terlambat untuk menyelamatkan orang-orang itu, terlambat menyelamatkan istri tercintanya. Lelaki itu pun menangis. Ditatapnya arus kendaraan jalan tol di bawah jembatan. Lampu-lampu sorot yang menyilaukan, bergerak perlahan. Lama-kelamaan tatapannya kosong, juga hati dan pikirannya. Tapi ada satu hal yang terlintas di otaknya. Ia harus memberi pelajaran pada setan-setan itu. Cara yang paling tepat adalah dengan menyusup ke sarang musuh, menghancurkannya dari dalam, sama seperti yang mereka lakukan pada dunia. Maka ia harus pergi ke neraka!

Lelaki itu bangkit, menaiki pagar pembatas jembatan. Lalu ia melompat, terjun bebas ke arah jalan tol yang padat kendaraan. Terjun bebas menuju neraka.

Jakarta, 26 Mei 2004

No comments: