Sunday, September 02, 2007

UJUNG GENTENG, paradise on the edge of Java Island





Sewaktu saya dan teman-teman merencanakan untuk traveling ke Ujung Genteng, saya belum tahu banyak tentang tempat itu. Lalu kami browsing untuk mencari tahu apa saja objek wisata yang menarik di Ujung Genteng. Saya dan teman-teman sempat terpana melihat keindahan pantai dan curug yang kami lihat di foto di internet, lalu kami putuskan untuk positif pergi ke sana.

Tanggal 17 Agustus 2007, pagi-pagi kami berangkat menggunakan kendaraan minibus yang disediakan oleh paket wisata. Karena kepergian kami bertepatan dengan perayaan hari kemerdekaan, kami sempat terjebak macet di beberapa tempat. Perjalanan terasa sangat panjang. Kami melewati jalanan gunung yang berliku-liku dan ada beberapa bagian jalan yang rusak. Namun kami tetap menikmati perjalanan ini karena di sisi kanan-kiri kami terhampar pemandangan yang indah. Kami melewati hamparan kebun karet, pepohonan kering meranggas, kebun teh yang bertingkat-tingkat, dan juga sempat melihat Pelabuhan Ratu dari kejauhan, dengan laut dan ombak berdebur yang sangat indah.

Perjalanan Jakarta – Ujung Genteng memakan waktu sekitar enam jam. Kami tiba sekitar pukul dua siang di Curug Cikaso. Sebelum ke penginapan, jadwal kami adalah berwisata ke Curug Cikaso yang terkenal. Untuk sampai ke Curug Cikaso, kami harus naik perahu motor milik warga dan menyusuri sungai yang airnya berwarna kehijauan. Setibanya di lokasi, kami turun dari perahu lalu melewati jalan setapak diantara hutan yang kurang terawat. Namun dibalik hutan tersebut ternyata kami menemukan keindahan yang luar biasa, yaitu Curug Cikaso yang tinggi menjulang di hadapan kami, dengan lumut hijau yang menghiasi tebingnya. Ternyata foto-foto yang kami lihat di internet tidak berbohong. Curug ini memang indah, tapi sayang, karena saat itu musim kemarau, airnya sedang kering.

Dari Curug Cikaso, kami melanjutkan perjalanan menuju penginapan yang terletak berhadapan dengan pantai karang. Setelah berbenah sebentar, kami menyusuri pantai karang di depan penginapan untuk menunggu sunset. Di pantai karang ini, saya bisa menemukan bermacam jenis binatang laut yang unik dan berwarna-warni. Bisa saja binatang itu tiba-tiba muncul di kaki saya karena memang karang-karang yang kami lewati ternyata merupakan tempat persembunyian binatang-binatang itu. Ombak yang berdebur di pantai karang membuat kami enggan beranjak dari situ.

Warna langit yang mulai berubah menjadi jingga menandakan matahari akan mulai terbenam. Saya menyiapkan kembali kamera digital saya, tak mau melewatkan keindahan sunset di pantai itu. Matahari pun mulai turun, cahaya jingganya memantul di permukaan air laut. Orang-orang yang berdiri di pinggir pantai hanya tampak seperti siluet. Saya senang sekali karena berhasil mengabadikan momen seperti ini.

Malam harinya, setelah menikmati makan malam yang lezat, kami ke pantai pengumbahan, yaitu pantai tempat penyu bertelur. Jalan menuju pantai pengumbahan hanya bisa dilalui dengan motor, maka kami menyewa ojek untuk sampai ke tempat itu. Perjalanan kami di malam itu menjadi sebuah petualangan baru bagi saya. Karena jalan yang kami lewati berpasir dan berbatu-batu, saya seperti sedang ikut reli motor. Kanan-kiri saya gelap gulita, hanya ada cahaya yang berasal dari lampu motor. Sekilas saya bisa melihat pantai dalam kegelapan, hanya tampak buih-buih ombaknya yang berwarna putih.

Kami pun sampai di pantai pengumbahan. Disini kami membutuhkan senter untuk berjalan dari tempat penangkaran menuju pantai. Tapi setibanya di pantai, kami tidak boleh menyalakan sedikitpun cahaya, karena penyu yang akan bertelur, akan langsung kembali ke laut jika melihat ada cahaya. Penyu membutuhkan tempat yang gelap pulita untuk bertelur, bahkan langit yang terlalu terang pun akan mengganggu mereka.

Untuk bisa melihat penyu bertelur, kami harus bersabar menunggu sampai penyu muncul dari laut dan berjalan ke pantai untuk mencari tempat bertelur. Kami duduk di pinggir pantai, sambil memandang langit yang penuh bintang dan bulan sabit yang lama-kelamaan menghilang dari pandangan. Ombak yang berdebur menghantam pantai menimbulkan bunyi yang sangat keras, membuat saya jadi agak merinding. Mungkin karena gelap, saya jadi berpikir macam-macam. Tapi setelah dua jam menunggu dan tak ada satupun penyu yang muncul, kami memutuskan untuk pulang ke penginapan.

Pagi harinya, kami akan melihat matahari terbit di pantai cagar alam. Saya hampir saja tidak ikut karena kecapekan. Tapi setelah dipikir lagi, selama ini saya belum pernah melihat matahari terbit, saya juga jarang sekali berolah raga, jadi akhirnya saya putuskan untuk ikut. Untuk tiba di sana kamipun naik mobil. Kami melewati tempat pelelangan ikan yang bau amis. Tapi saya merasa sangat takjub ketika tiba di pantai yang dimaksud. Pantainya berbeda dengan pantai karang di depan penginapan. Pantai cagar alam adalah pantai landai berpasir, dengan ombak yang sangat dekat dengan kami. Langit berwarna biru kemerahan, namun matahari belum muncul dari balik awan. Selain rombongan kami, saya melihat banyak pengunjung lain yang sedang sibuk memasang kamera mereka yang dilengkapi tripod. Sepertinya mereka dari klub fotografi. No wonder mengapa mereka memilih tempat ini sebagai lokasi.

Matahari pun mulai muncul dengan warna kuningnya yang menyilaukan. Semua sibuk mengabadikan momen ini. Saya pun berhasil mengambil gambar yang indah, ketika matahari sudah benar-benar berbentuk bulatan kuning, dengan deburan ombak menyambutnya.

Kami merasa enggan sekali untuk beranjak dari pantai, tapi tur harus dilanjutkan menuju hutan cagar alam. Lokasinya tidak jauh dari pantai tempat kami melihat sunrise. Di hutan itu terdapat sebuah bangunan milik TNI AU, sebagai menara pengawas perairan tanah air kita agar tidak dimasuki oleh kapal-kapal asing. Disini kami banyak menemukan pohon tanpa daun, kering hanya tinggal dahannya saja. Kami juga menemukan kembali sebuah pantai karang yang sunyi dan tenang.


Dari hutan cagar alam, kami pun kembali ke penginapan untuk sarapan. Setelah itu kami akan diantar ke Pantai Cipanarikan dengan ojek. Sekitar pukul setengah delapan pagi kami pun berangkat. Perjalanan ke Pantai Cipanarikan sama seperti perjalanan kami ke Pantai Pengumbahan untuk melihat penyu, bedanya, kali ini kami bisa menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Lokasinya sekitar satu kilometer lebih jauh dari tempat penangkaran penyu. Dan ternyata medan yang kami lalui lebih berat dari semalam karena kami benar-benar harus melewati hutan yang penuh dengan semak belukar.

Saya melihat di sebelah kanan saya terbentang sungai yang luas kehijauan, namun saya belum melihat tanda-tanda ada sebuah pantai. Jalanan yang kami lalui mulai berbukit, lalu motor berhenti di pinggir sungai. Tukang ojek saya mengatakan bahwa motor tidak bisa dibawa lebih jauh, kami harus berjalan kaki untuk menaiki bukit pasir di depan kami. Maka saya pun berjalan kaki mendaki bukit sampai akhirnya saya menemukan sebuah pemandangan yang mengejutkan.


Pantai Cipanarikan, atau yang dijuluki pantai hawai, terbentang di depan mata saya. Saya tidak bisa banyak berkata saking takjubnya. Saya belum pernah melihat pantai seindah ini. Lautnya berwarna biru, dengan hamparan pasir putih, berhadapan dengan muara sungai yang kehijauan. Bersih… dan terlebih lagi, tak ada satupun pengunjung selain kami. Kami merasa seolah-olah pantai ini sudah menjadi milik kami, seperti private beach. Melepas kekaguman, saya pun berlari menuruni bukit pasir sambil berteriak, “KEREN BANGEEEEETTTTTT.....!”

Kami sibuk berfoto, bermain air, rasanya seperti tak mau pulang. Pasirnya begitu lembut di kaki kami. Airnya dingin dan sama sekali tidak lengket atau membuat gatal. Saya memandang ke laut dan melihat benar-benar tak ada batas antara kami. Saya sedang berhadapan dengan Samudera Indonesia. Saya merasa seperti sedang bermimpi, ternyata ada pemandangan seindah ini di balik hutan yang tadi kami lewati.

Kalau tukang ojek yang sekaligus adalah pemandu kami tidak memperingatkan kami untuk segera pulang, mungkin akan seharian kami berada disitu. Menjelang tengah hari, barulah kami beranjak pulang.

Sebelum menikmati makan siang di penginapan, kami sempat berjalan-jalan di sekeliling penginapan untuk melihat proses pembuatan gula dari nira/sari kelapa. Kami mencicip sedikit air nira yang terasa sangat menyegarkan. Kemudian kami menikmati kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon di depan penginapan. Setelah bermalas-malasan dibuai angin pantai, barulah kami mandi dan bersiap-siap untuk pulang ke Jakarta.

Sekitar jam satu siang, setelah menyantap makan siang kamipun kembali ke Jakarta. Meskipun terasa berat, kami harus rela meninggalkan tempat yang penuh dengan kejutan ini. Kami pulang dengan membingkai kenangan tentang keindahan Ujung Genteng di benak kami masing-masing. Maybe…, someday we will be back!

1 comment:

TRI AYU said...

Asyik ya tempatnya...? Jadi inget waktu aku kesana sekitar 12 tahun yang lalu. Sekarang udah makin rame kali ya? Sayangnya jauuuuh banget. Tapi kalo sekarang jalannya udah lebih bagus, mungkin gak terlalu berasa...