Sunday, September 02, 2007

JAKARTA-SALATIGA-SOLO

Di akhir bulan Juli kemarin, gue sempet menghabiskan weekend diluar Jakarta. Seneng banget rasanya setelah berbulan-bulan nggak pernah traveling lagi. Sayangnya, kepergian gue kali ini adalah dalam rangka pernikahan sepupu, jadi waktu empat hari yang gue punya nggak bisa gue maksimalkan untuk jalan-jalan. Tapi yang terpenting buat gue adalah keluar dulu dari Jakarta, meninggalkan pekerjaan dan rutinitas untuk sementara waktu.

Ternyata, perjalanan darat selama dua belas jam itu lumayan banget. Gue udah tidur, dengerin mp3, telpon-telponan sama orang kantor, tidur, makan, ngobrol sama saudara gue, ganti posisi duduk, makan, bengong menikmati pemandangan diluar jendela bis, tidur, sms, dengerin mp3, makan, tidur… wow!

Sambil memandang keluar jendela bis gue berpikir-pikir, kapan ya terakhir kali gue melewati jalan-jalan itu? Ujung tol Cikampek, jajaran pedagang peuyeum di sepanjang jalan Purwakarta, pemandangan laut lepas yang begitu dekat di perjalanan antara Indramayu dan Cirebon, kapal-kapal nelayan yang berlabuh di pinggir sungai, patung peringatan perjalanan pasukan Siliwangi, gapura perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, jajaran pedagang telor asin di Brebes, pemandangan hutan jati yang sangat luas di Alas Roban, dan semua pemandangan menarik lainnya yang sudah lama banget nggak pernah gue liat. Ini adalah salah satu dari kenikmatan perjalanan darat. Kalau perjalanan udara dengan pesawat, yang kelihatan cuma langit dan awan, kita nggak bisa melihat keunikan dan kecantikan masing-masing daerah yang dilewati.

Setelah merasakan pegal yang luar biasa gara-gara kelamaan duduk, akhirnya kami mencium bau pegunungan. Hawa yang mulai terasa dingin menandakan bahwa kami sudah memasuki kawasan Salatiga, kota tujuan kami. Hari sudah senja, langit mulai gelap. Rombongan kami mampir di sebuah restoran untuk ngopi-ngopi. Restoran itu menjual kopi khas Salatiga yaitu Kopi Banaran. Dan di bagian belakang restoran itu terhampar perkebunan kopi Banaran. Rasa kopinya sedap, dan katanya, kopi-kopi yang digunakan untuk café-café di Jakarta banyak yang berasal dari situ. Di restoran itu gue bisa menikmati secangkir cappuccino dengan harga yang nggak sampe sepuluh ribu rupiah, plus menikmati enaknya mendoan yang dimakan pakai cabe rawit. Padahal kalau di Jakarta, mana ada café yang menjual cappuccino atau espresso dengan harga semurah itu?

Setelah puas ngopi-ngopi, barulah rombongan kami melanjutkan perjalanan menuju tempat penginapan yang sudah diborong untuk kami. Kami menginap di sebuah wisma yang konon merupakan rumah dosen Universitas Satyawacana. Bangunannya khas rumah-rumah kuno peninggalan jaman Belanda, dengan kamar yang luas dan sejuk sehingga kami tidak lagi membutuhkan AC.

Pagi harinya, gue bersama orang tua gue melanjutkan perjalanan ke Solo, tempat kakak sulung gue tinggal. Kebetulan acara pernikahan sepupu gue di Salatiga akan diadakan malam hari dan keesokan harinya, jadi dari pagi sampai siang hari itu adalah acara bebas. Dari Salatiga, gue naik bis tujuan Semarang yang lewat Solo (mostly sih emang lewat Solo). Ada beberapa armada tujuan Semarang, ada yang ekonomi bak patas di Jakarta – panas, padat – maupun yang lebih nyaman menggunakan AC. Tarifnya 10.000 – 12.000/orang. Tapi jangan dikira bisnya kosong, bis AC pun penumpangnya cukup banyak dan kalau sedang nggak beruntung, bisa nggak dapet tempat duduk.

Gue sampai di Solo setelah melewati jalan yang berliku-liku dan bikin gue rada mabok. Padahal perjalanannya cuma dua jam, sedangkan perjalanan dua belas jam Jakarta - Salatiga gue malah nggak mabok. Tiba di Solo, hawanya beda banget sama di Salatiga. Solo memang terkenal panas karena terletak di dataran rendah, sama seperti Jogja yang selalu panas. Di Solo, gue nggak terlalu banyak jalan-jalan karena waktu yang terbatas. Akhirnya gue menghabiskan waktu di rumah kakak gue yang sudah masuk daerah Karang Anyar.

Kembali ke Salatiga di sore harinya, kami kembali disibukkan dengan persiapan pernikahan sepupu gue. Tapi di malam harinya, seusai acara midodareni (perkenalan keluarga dari kedua mempelai), gue dan kakak gue jalan-jalan menikmati malam. Kami jalan kaki sebentar sampai menemukan pasar malam yang rame banget, dipenuhi muda-mudi Salatiga. Di Jakarta, nggak pernah satu kalipun gue main ke pasar malam. Padahal, sebetulnya pasar malam itu cukup menyenangkan loh untuk dijadikan tempat hiburan.

Kami berkesempatan untuk jalan-jalan lagi pada keesokan harinya, setelah acara resepsi. Bareng sama orang tua gue, kami naik delman ke pasar, nyari oleh-oleh sekalian nyari bakso yang terkenal di situ. Setelah menyusuri pasar dengan jalan kaki, kami menemukan lokasi tempat makan bakso yang katanya enak buanget… namanya Bakso Trikoyo. Konon katanya, Salatiga tuh terkenal dengan baksonya, dan salah satu bakso yang terkenal adalah Bakso Trikoyo. Setelah dicoba… tenyata memang enak. Satu porsi baksonya banyak banget, gurihnya pas, kalau kata Pak Bondan Winarno, “Mak Nyuss!”. Setelah menikmati bakso, barulah kami nyari oleh-oleh. Oleh-oleh khas kota ini adalah enting-enting gepuk, kripik belut, kripik paru, dan kripik usus, semua kami beli. Terus… kami pulang ke hotel dengan kembali naik delman. Tapi kali ini kami sempat nyasar, maklumlah semua orang baru. Nggak papalah, yang penting kami bisa menikmati malam yang unik di Salatiga.

Esok paginya gue balik ke Jakarta, membawa kenangan baru di otak gue. Kenangan tentang kota yang sudah bertahun-tahun nggak gue datangi, Salatiga dan Solo. And I will start my ordinary days in Jakarta with a big smile…

1 comment:

EkoBanana said...

SUka jalan-jalan yah... tulisannya bagus neh... Kalo ke ujung genteng saya jg pernah hingga cikadal. Tapi jalan kaki alias susur pantai (tahun 2001). Kalo ke jawa tengah, hmmm dah berkali2 tapi naek motor...